Tentang Pilkada DKI, 15 Februari 2017

Memilih adalah sebuah bentuk preferensi.
Jangan jauh-jauh bicara "rasionalitas dan objektivitas" karena preferensi itu sudah pasti kaya akan "favoritism dan subjektivitas".
Pertimbangan bisa datang dari diri sendiri, kebanyakan datang dari pengaruh lingkungan.

Terutama yang sifatnya sugesti dari lingkungan, banyak sekali yang hal bisa saling menyambung dan disambungkan. Mulai dari yang level nya 'bisa diterima akal' sampai dengan level 'ini akal-akalan apalagi sih?'.

Saya sangat tergelitik dengan isu-isu yang berkembang saat ini, terutama menjelang pemilu DKI-1.
Lupakan dulu rumor-rumor tentang nafsu besar sang 'mantan' untuk memuluskan sang putera mahkota menampuk kursi pemimpin ibukota. Karena pembahasan saya tidak akan kesitu (dan bisa jadi hanya penghangat skenario, belum tentu benar).

Yang menarik dalam gelaran pilkada episode ini adalah friksi dan opini yang berkembang antara memilih pemimpin muslim dan non-muslim, pribumi dan non-pribumi.
Tema yang cukup basi dan lapuk, dan agak-agak pahlawan kesiangan juga karena uneg-uneg ini baru dirilis di hari-H. Tapi buah pikiran ini saya rasa terlampau sayang kalau hanya abadi dalam ruang imaji saya sendiri.

Baiklah, melanjutkan kalimat saya di atas tadi: memilih (pemimpin) adalah sebuah bentuk preferensi. Silakan pilih sesuai dengan keinginan hati, baik itu berdasarkan gender, tinggi badan, keimanan, suku/ras, dan seterusnya. Toh ini negara demokrasi.


Tetapi apakah bisa dibenarkan mendorong orang lain untuk menjatuhkan pilihan dengan mengancam orang tersebut menjadi 'auto-kafir' atau 'anti NKRI'?

Ancaman-ancaman yang berseliweran itu mau tidak mau pasti akan masuk ke alam bawah sadar pemilih yang bisa mempengaruhi pilihannya jauh ke dalam bias.

Hei bung, ini cuma pemilihan gubernur. Ini pun juga tentang adu program. Untuk itu, dalam rangkaian tulisan saya ke depanya, saya akan coba men-dispose ancaman-ancaman orang tidak bertanggung jawab tersebut satu persatu:

1. Auto-kafir.
Banyak masyarakat yang beragama islam tiba-tiba menjadi sangat concern tentang memilih pemimpin muslim. Tidak salah memang. Tapi kebanyakan seperti tergesa-gesa dan kurang tabayyun.
Banyak yang dimajukan adalah ayat tentang larangan memajukan orang kafir sebagai waly dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (QS: An-nisa, 144).

Yang menarik dari ayat tersebut adalah yang diutamakan adalah orang-orang mukmin, bukan sekedar muslim. Mukmin adalah muslim dengan derajat keimanan yang lebih tinggi. Seorang munafik pun tetap bisa dikatakan sebagai orang islam/muslim di dunia.
Jadi hati-hati dalam memilih pemimpin, analogi nya: orang islam tukang tilep duit rakyat pun bisa-bisa dibenarkan jadi presiden kalau lawan kandidatnya adalah non-muslim.

Lalu selanjutnya tentang kafir itu sendiri. Istilah kafir adalah istilah dalam agama islam untuk menyebut orang-orang yang tidak mengimani Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasulullah. Simpelnya adalah orang-orang non-muslim.
Kurang lebih mungkin sama seperti istilah 'domba-domba tersesat' dalam ajaran kristian untuk menandai orang-orang non-kristian.

Tetapi bung, dalam konteks pilkasa DKI ini, kalau pilihannya saat ini adalah muslim dan kafir, saya rasa peluang ketiganya sama besar.
Yang jelas paslon no. 2 itu kafir dan dua paslon yang lain adalah muslim.
Apakah pemilih muslim harus memilih yang muslim? nanti dulu.
Karena untuk menilai derajat keimanan dua paslon lainnya dikembalikan kepada masing-masing pemilih. Kalau sudah yakin paslon yang muslim adalah mukmin yang kuat, silahkan dipilih dan jangan meragu.

Berpikirlah lebih rasional dan jangan takut dihardik menjadi kafir (auto-kafir) hanya karena memilih pasangan yang terbaik, kafir maupun muslim.

2. Anti-NKRI.
Ini lebih lucu lagi.

Pertanyaan analoginya: "Apa bedanya kalau saya memilih Habib Rizieq menjadi presiden RI dengan saya kalau memilih Basuki (Ahok)?".
Hampir tidak ada bedanya.
Mereka berdua memang hampir mirip satu sama lain: yang satu WNI keturunan nabi (Arab), yang satu lagi WNI keturunan Tionghoa.
KTP mereka WNI dan mereka berdua punya hak politik yang sama di negeri ini. Mereka sama-sama memenuhi syarat-syarat sebagai presiden yang notabene: harus pribumi, lahir di tanah Indonesia, tinggal di Indonesia. tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan seterusnya.
Hanya saja kalau saya pilih Ahok, bisa-bisa saya dicap anti NKRI, pendukung komunis, dan pro-aseng. Lucu.

Hal yang sama juga kurang lebih dapat berlaku untuk Pilkada DKI ini.
Jangan termakan ancaman disebut anti-NKRI karena memilih pasangan yang terbaik, baik itu WNI keturunan maupun bukan.

Sekali lagi, Memilih adalah sebuah bentuk preferensi.
Tetapi tidak mustahil untuk kita dapat bersikap lebih rasional.

Demi Jakarta yang lebih baik.
Salam.

Asa Milik Cakrawala

“Cakra..Cakra..”

Samar-samar suara tersebut bergaung di pikiranku.

“Cakra..bangun nak. Nanti kita telat.”

Tegas suara wanita itu terdengar, mendorongku untuk segera bangkit dari tempat tidur.

Aku terduduk seakan masih mengumpulkan nyawa. Kugosokkan kedua mataku dengan sedikit tekanan agar kantuk ini segera terusir. Jam weker di atas meja kerja kayu di seberang ruangan masih menunjukkan pukul lima pagi.

Masih pagi. Tapi itu menjadi sentakan bagiku karena hari ini aku teringat bahwa kami memang harus bangun sepagi ini. Pesawat kami akan take-off pukul setengah sembilan, dan jarak dari rumah ke bandara bisa memakan waktu dua jam sendiri.

Tidak sampai tiga puluh menit kemudian aku sudah beranjak dari tempat tidurku, merapikan rambut sebentar, mengambil wudhu, sholat subuh, dan selesai mandi. Koperku sudah siap di ujung ruangan. Kami sudah siap bepergian hari ini, mengunjungi sanak saudara kami di Palembang.

Di ruang tamu kulihat ibu, dan adikku juga sudah siap dengan bawaannya masing-masing. Mereka tampak sibuk.
“Naikkan tas kamu ke bagasi sekarang. Itu taxi nya di depan sudah datang”. Perintah ayah kepadaku.

Bawaanku sebenarnya tidak banyak, hanya satu ransel berukuran sedang. Itu karena kami hanya akan bepergian selama tiga hari saja, jadi kurasa tidak perlu membawa terlalu banyak keperluan. Tanpa banyak bicara kumasukkan tasku ke dalam bagasi, dan kududukan diriku di kursi paling depan Tidak sampai lima menit kemudian kami semua sudah naik—kecuali ayahku. Dia memang tidak bisa ikut karena ada pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Tak berapa lama kemudian ibuku memerintahkan pak supir untuk jalan. Dia melambaikan tangan salam perpisahan kepada ayahku yang berjaga di depan pagar.

“Mah, kita kan masih dua jam lagi. Bagi roti nya dong”. Sahut adikku kepada ibu.

Ibu ku mengeluarkan sesuatu dari tas nya. Roti isi coklat.

“Cakra juga mau mah”. Aku tak mau kalah. Bangun sepagi ini sangat memicu perut untuk segera diisi. Adikku pun juga sepertinya kelaparan. Tanpa banyak bicara sudah dua tangkup roti mantap dalam genggamannya.

Sepanjang jalan aku tak banyak bicara, kantuk masih sangat terasa di mata. Begitupun dengan adikku. Dia lebih banyak tenggelam dengan smartphone nya. Sedangkan ibuku daritadi berceloteh tentang kabar terkini sanak saudara kami di Palembang, dan juga membahas tentang rencana perjalanan disana. Aku tidak terlalu tertarik, bagiku bisa jalan-jalan saja sudah menyenangkan.

Aku termenung sepanjang jalan. Menikmati jalanan Jakarta sepagi ini—dan tanpa kemacetan—benar-benar menyenangkan. Mungkin kalau selancar ini kami bisa lebih cepat setengah jam sampai di bandara. Tanpa terasa kelengangan jalan ini mulai membuaiku. Aku pun tertidur.

***
Pukul setengah delapan kami sudah berada di ruang tunggu terminal dua. Suasana bandara cukup sibuk. Terlihat beberapa orang berpakaian pilot dan pramugari lalu lalang di sekitar ruangan. Entah mereka akan segera terbang, atau baru mendarat.

Aku mengecek smartphone ku untuk sekedar menghabiskan waktu. Beberapa berita di media sosial tidak menunjukkan sesuatu yang menarik. Ku-scroll timeline ku dengan bosan. Sampai tanpa sadar ada satu berita yang menggeletikku.

“Mah, liat deh”. Kusodorkan smartphone ku kepada ibu. Dia membetulkan kacamatanya untuk membuatnya bisa lebih fokus membaca.


“Apa ini akan baik-baik saja, mah?”

“In shaa Allah, nak. Mama rasa sih ga akan kenapa-kenapa. Cuaca buruk itu kan biasa. Kita berdoa aja sama Allah SWT supaya aman sampai Palembang.” Ibuku tersenyum mencoba menenangkan.

Well, walaupun begitu tetap saja ada sedikit kegelisahan tersisa di hatiku. Aku memang tahu bahwa perjalanan dengan pesawat adalah yang teraman di dunia dibanding dengan menggunakan moda transportasi lain. Tetapi aku paling takut dengan turbulensi, dan membayangkan kemungkinan bahwa kita bisa jatuh dari ketinggian puluhan ribu kaki—yang apabila itu terjadi—sungguh adalah kematian yang tak terhindarkan.

Aku memalingkan pandanganku ke jendela ruang tunggu. Tampak mendung mulai memenuhi cakrawala di langit sebelah barat.

Kualihkan perhatianku pada adikku, dia masih belum beranjak dari smartphone nya. Selang beberapa detik kemudian sepertinya dia sadar sedang kuperhatikan.

“Kenapa, kak?” tanya nya.

Kusunggingkan senyum tipis, sepertinya ini hanya pikiranku saja yang berlebihan.

***
Perjalanan menuju Bandara Sultan Badaruddin II memakan waktu satu jam sepuluh menit. Saat ini kami sudah sekitar 35 menit di udara. Cuaca di luar benar-benar gelap tak terkira, padahal masih pagi. Awan pekat menyelimuti angkara. Turbulensi telah beberapa kali terjadi, dan pilot pesawat sudah dua kali kali menghimbau kami agar tetap berada di kursi dan menegakkan sandaran.

Kupandangi keadaan sekeliling kabin. Suasana tampak tenang. Entah mereka benar-benar tenang atau sekedar diam dalam cemas. Ibuku juga nampak tenang namun terlihat waspada. Dia terlihat sedang berkomat-kamit, mungkin sedang membaca ayat-ayat suci. Adikku di kursi samping seberang lorong jalan juga nampak tenang, dia sedang mendengarkan lagu.

Turbulensi cukup kencang kembali terjadi. Terasa pesawat sepertinya terdorong ke bawah beberapa meter. Aku terbengong cukup lama. Aku tidak menyukai suasana mencekam ini. Komat-kamit ibuku terdengar makin keras. Adikku terlihat memejamkan mata, dia nampak sangat tegang.

Selang beberapa detik kemudian, dari jendela kabin nampak kilatan cahaya menyambar sayap pesawat sebelah kanan. Suara dentuman sekencang bom terdengar. Teriakan penumpang memenuhi kabin. Mengerikan. Sedetik kemudian tiba-tiba kabin menjadi gelap. Pesawat terasa merosot turun menyusuri atmosfer dengan cepat. Sayup-sayup terdengar pengumuman dari pilot pesawat meminta penumpang untuk mengenakan rompi pengaman. Sepertinya dia akan mencoba melakukan pendaratan darurat di Selat Sunda.

Kugapai benda kuning itu di kolong kursiku. Dengan payah kucoba kenakan di tubuh. Agak sulit dalam keadaan panik seperti ini. Lalu beberapa detik kemudian terasa pesawat menghantam sesuatu yang keras di bawah, mungkin permukaan laut. Pada saat yang bersamaan tedengar dentuman kembali seperti bom, dan juga suara retakan badan pesawat yang menggetarkan tulang. Dan pandangan pun menjadi gelap pekat.

***
Seberkas sinar mentari yang menghangatkan membelai wajahku. Pelan-pelan kucoba untuk membuka mata. Sudah sore, pikirku. Mungkin saat ini pukul tiga. Tapi dimana aku berada sekarang? Aku merasa tidak seharusnya aku berada disini. Ingatan terakhir yang ku punya adalah bahwa aku sedang berada di dalam pesawat yang akan mengalami kecelakaan.

Kecelakaan pesawat.

Ya. Aku mengalami kecelakaan pesawat! Dan mendapati diriku masih selamat seperti ini sungguh merupakan keajaiban. Kusentuh tubuhku dari rambut sampai ujung kaki, tidak ada yang terasa sakit. Rompi keselamatan masih menempel di badanku. Aku merasa sangat bersyukur. Dan tiba-tiba aku teringat ibu dan adikku.

Dimana mereka?

Kupandangi tempatku berada sekarang. Aku mengambil posisi duduk agar dapat menelaah dengan jelas. Tampaknya aku sedang berada di sebuah gubuk tua. Entah ini milik siapa, mungkin warga sekitar lokasi jatuhnya pesawat yang bermurah hati.

Dipan tempatku tertidur juga nampak sudah lapuk, namun sangat nyaman. Di seberang dipan ada sebuah meja dengan ceret dan segelas teh coklat yang nampak hangat, manis, dan menggoda. Kucoba menjejakkan langkahku di tanah dan mendekati gelas teh tersebut.

Benar, memang masih hangat. Kuteguk teh tersebut dengan rasa syukur tiada tara.

Kuperhatikan kembali sekeliling gubuk tersebut. Kemana pemiliknya? Aku ingin sekali menanyakan tentang kecelakaan pesawat tersebut, para korban—termasuk keluargaku—dan mengapa aku bisa berada disini?

Tidak ada televisi maupun radio di gubuk ini. TIdak ada media apapun yang bisa kugunakan untuk mendapatkan informasi. Lalu kurogoh kantung celanaku, berharap menemukan smartphone ku disana. Memang ada, tetapi tidak bisa kunyalakan. Mungkin mati karena terkena garam dan air laut.

Kupandang keluar jendela gubuk dengan tatapan pasrah. Mencoba mempelajari keadaan sekitar. Seperti nya aku ada di tengah kebun. Samar-samar terdengar desir air laut di kejauhan. Pantai tidak jauh dari sini rupanya.

Aku mencoba memberanikan diri untuk melihat keadaan di luar. Kubawa diriku keluar, dan baru saja kakiku menjejakkan tanah di depan pintu, terdengar suara wanita dengan tegas berbicara kepadaku.

“Tidak ada yang perlu dicemaskan”. Katanya dengan suara parau.

Sesosok nenek tua muncul dari balik rimbunan pohon pisang. Tubuhnya bungkuk dan cukup renta. Dan dia nampak membawa sesuatu di punggungnya.

“Pisang nak. Sudah matang dan manis. Nah, sekarang kamu mau kemana?” Tanya nya tiba-tiba, mengabaikan paras keherananku setelah mendapatinya.

“Nenek yang punya gubuk ini?” Tanyaku polos.

“Ya dan tidak. Nenek memang menempatinya, tetapi semua milik Tuhan”.

Aku tidak mengerti dengan jawabannya. Tetapi ada yang jauh lebih penting untuk ditanyakan. Tentang kecelakaan itu.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak karena telah menyelamatkan saya. Saya baru saja mengalami kecelakaan pesawat, dan..entah mengapa keajaiban sepertinya terjadi, saya tidak mengalami luka atau merasa sakit sedikitpun. Dan..dan..yah, saya tidak tau bagaimana nenek bisa menemukan saya. Lalu..bagaimana dengan korban yang lain, apa nenek tahu?” Cerocosku dengan membati buta.

“Pelan-pelan lah nak, jangan terburu-buru. Nanti kamu akan segera tahu. Dan kamu bilang tadi ‘pesawat’? Maksudmu burung besi yang mengerikan itu?”

Ah ya, orang tua yang tinggal jauh sendirian seperti dirinya mungkin tidak tahu mengenai pesawat atau kemajuan teknologi lainnya. Aku mengangguk dengan pelan untuk mengiyakannya, menghindari untuk mencoba memberikan penjelasan kepadanya tentang ‘pesawat’ karena kurasa pasti akan sia-sia.

“Nenek tidak tahu tentang yang lain nak. Yang nenek tahu cuma kamu. Beberapa jam lalu kamu tertidur di pantai pulau ini. Terlihat nyenyak sekali”. Jawabnya.

Jadi kemungkinan hanya aku yang selamat, gumamku.

“Lalu, sebenarnya ini dimana, nek?” Tanyaku polos.

“Ini? Entahlah. Sudah puluhan tahun nenek tinggal disini. Namun orang-orang menyebutnya Sebuku. Jadi anggap saja itulah namanya.”

Aku mengangguk mendengarkan penjelasannya. Sedikit terasa mengganjal di hatiku. Aku bersyukur aku selamat, namun aku ingin sekali mengetahui kabar keluargaku. Seketika aku berniat mencari penduduk lain, atau setidaknya orang lain di pulau ini yang bisa kutemui. Aku sangat membutuhkan informasi.

“Nenek tinggal sendiri disini?” Tanyaku lagi.

“Tidak, tentu saja tidak. Ada beberapa yang lain. Mungkin saja nanti kamu akan menemui mereka.”

“Dimana aku bisa menemui mereka, nek?”

“Nenek tidak ingat tempat tinggal mereka. Coba saja kamu berkeliling pulau ini, atau ke arah pantai apabila kamu mau mencoba peruntungan menemukan keramaian.” Jawabnya.

Pantai adalah ide bagus. Setidaknya pasti ada orang disana, atau mungkin wisatawan yang sedang snorkeling atau hanya sekedar bermain pasir. Dengan sedikit panduan arah dari nenek tersebut, hanya butuh waktu 15 menit saja aku bisa mencapai pantai. Sedang nenek itu lebih memilih tinggal di gubuk. Dia mempersilakanku untuk mengunjungi nya kembali nanti malam apabila butuh tempat tinggal.

***
Pantai ini indah. Pasir putih kekuningan, air laut yang dangkal dan bening menjadi tirai panorama yang menakjubkan. Seandainya ini liburan—alih-alih terdampar disini karena kecelakaan—pasti akan sangat menyenangkan sekali. Pikiran seperti itu mau tak mau memaksaku untuk semakin mengkhawatirkan tentang ibu dan adikku.



Dimanakah mereka?

Aku mencoba memandang sekeliling. Tidak ada siapa-siapa disini. Tidak mungkin.

Lalu aku memandang ke arah laut. Setitik perahu nampak di beberapa ratus meter di tengah laut.

Ada manusia!

“Heeeei Perahu! Kemarii! Toloooong!” Teriakku dengan senyaring-nyaringnya. Kutunggu beberapa detik, lalu kuteriakkan kembali teriakkan yang sama.

Tidak bergeming?

Kurasa mereka tidak bisa mendengarku. Tapi aku tidak peduli, aku terus berteriak.

***
TIga puluh menit yang sia-sia.

Entah karena teriakanku yang kurang pekak, atau tertutup debur ombak, atau memang mereka yang tidak mendengar, namun usahaku sia-sia. Dalam lelah aku pun terduduk di pasir pantai. Sedih dan khawatir bercampur menjadi satu tidak keruan. Mau menangis pun percuma, tidak ada yang peduli.

Aku merebahkan diriku. Terasa damai sekali. Matahari perlahan terasa mulai turun ke peraduannya. Suara burung laut menambah syahdu suasana. Aku merasa ingin tidur kembali dan mencoba melupakan semuanya untuk sejenak. Berharap saat terbangun nanti aku sudah berada di rumah. Bersama orang-orang tersayang.

Tetapi mana mungkin. Aku tidak mengantuk. Dan lagipula hari juga belum gelap. Akhirnya aku merasa cukup dengan memejamkan mata saja.

Damai sekali rasanya.

***
Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku bertahan dengan posisi seperti itu. Rasanya seperti di surga. Aku merasa kembali bersemangat untuk mencoba mengais harapan kembali.

Kududukkan diriku di pantai. Belaian angin laut terasa tegas dan lembut menyentuh wajahku.

Beberapa menit kemudian aku mendengar deru perahu motor di kejauhan.

Ada harapan!

Tanpa berpikir panjang aku bangkit dan berlari menuju arah suara. Beberapa ratus meter di kejauhan. Aku berjalan cepat dengan sedikit terhambat pasir pantai. Pikirku, aku harus segera menemui mereka dan bertanya apapun tentang kecelakaan pesawat itu, dan juga tentang para korban yang lainnya!

Beberapa belas detik aku berjalan, aku sudah bisa melihat mereka. Kerumunan orang-orang yang terlihat tangguh dan memakai jaket oranye bertuliskan “BASARNAS”. Tim SAR telah datang! Entah bagaimana caranya, namun mereka bisa menemukanku!

Sekejap aku memicingkan mata dan memandang mereka dengan lebih teliti. Sepertinya aku mendapati sosok yang familiar. Ada ayahku di antara mereka! Kufokuskan mataku dengan harapan mendapat visi yang lebih jelas. Dan benar saja, itu memang ayahku. Aku menjadi semakin bersemangat untuk menemui mereka.

Dengan tertatih-tatih namun penuh semangat aku melanjutkan langkah-langkah ku yang penuh harap untuk menghampiri mereka. Senyum lebar tersungging di bibirku.

Namun tiba-tiba aku terjatuh tersandung karang yang entah darimana seperti muncul tiba-tiba dari dalam pasir.

Karang sialan! pikirku.

Posisi jatuhku rebah tertelungkup, jadi terasa cukup merepotkan untuk bangun kembali. Akan tetapi sebelum bangkit, aku mendapati ada selembar brosur wisata teronggok di depan mataku di tempat posisi ku jatuh saat ini. Mungkin milik wisatawan atau pengelola tur yang tertinggal. Dengan tanpa sengaja kucoba membaca apa yang tertulis disana.


Pulau Sebuku: Snorkel dan Pesona Wisata Pantai Pulau Tak Berpenghuni di Selat Sunda


Tak berpeghuni? Bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dengan nenek tadi?

Tapi sudahlah.. Itu masalah lain yang bisa dituntaskan di kemudian hari. Yang paling penting sekarang adalah aku ingin sekali menemui ayahku. Mereka adalah penyelamatku saat ini. Dengan semangat penuh aku mencoba bangkit kembali.

Tetapi…hey! Sekujur tubuhku terasa kaku. Mana mungkin ada cedera yang muncul akibat tersandung tadi. Itu kan jatuh yang ringan.

Dengan penuh tenaga aku mencoba menggerakkan otot-ototku, tetapi sepertinya ini sia-sia. Entah mengapa tidak satu centi pun dari tubuhku bisa beranjak dari posisi rebahku saat ini.

Setelah mencoba sekian menit, aku akhirnya pasrah. TIdak ada gunanya melawan. Toh sebentar lagi tim SAR dan ayahku akan menghampiriku. Dari sini saja aku sudah bisa melihat orang-orang tersebut berjalan dengan mantap ke arahku. Melihat ayahku dalam keadaan seperti sekarang ini sudah sangat melegakan bagiku.

Akhirnya aku terselamatkan..

Selang beberapa menit kemudian mereka sudah mengerumuniku.

Ayahku berjongkok di hadapanku. Tangan hangatnya menyentuh pergelangan tangan dan keningku. Terasa damai dan syahdu sekali di batinku. Aku tak mampu berkata-kata apapun. Rasanya ingin menangis. Tangisan lega dan bahagia.

Sejenak kemudian kulihat dia tersenyum lalu berkata ke salah satu anggota tim SAR.

“Saya akan menghubungi istri saya untuk mengabarkan bahwa jenasah anak kami akhirnya telah ditemukan.”


***

Pekik Jiwa dari Dalam Sana

Wahai Gundah, pergilah.
Bawalah resah terkunci rapat.
Ke ruang yang jauh di tengah arungan kelumit pikiran yang tak akan pernah terjangkau.

Duhai Semangat, teruslah menetap.
Buang jauh-jauh prasangka tak menentu.
Ke tempat yang jauh dimana minda tak pernah terbersit untuk menengoknya kembali.

Otak dan tubuh ini telah mengerahkan sekuat-kuat nya daya.
Di tengah minimnya harapan dan apresiasi.
Percayalah karma tidak pernah berkhianat.
Ku harap atma ini masih mampu terus berpacu.
Karena tempat peristirahatan terbaik adalah nanti,
di surga sana.


Partai Priboemi. Landasan Ide Terburuk

Belum lama ini saya mendapati sebuah hal yang cukup membuat rasa penasaran ini tersentil. Beberapa hari lalu, saat saya sedang dalam perjalanan menuju ke kantor, secara tidak sengaja saya melihat sebuah spanduk yang berukuran tidak terlalu besar—namun diletakkan di tempat yang sangat strategis—yang berisikan pengenalan sebuah partai beserta jargon dan tokoh-tokoh penting nya.

Pada dasarnya, itu adalah hal yang biasa—alih-alih disebut ‘memuakkan’—bahwasanya jalanan ibukota adalah tempat yang nyaman bagi partai-partai politik untuk beriklan dengan murah. Akan tetapi apa yang sampai membuat saya terpicu untuk menulis hal ini adalah perihal bahwa, bagi saya, partai yang diperkenalkan itu ternyata memiliki gagasan yang menggelikan:



Bagaimana kesan pertama yang anda dapat?

Partai politik pada umumnya dapat didefinisikan sebagai sebuah kelompok teroganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Undang-undang negara kita juga secara gamblang mendefinisikan partai politik adalah “Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Tujuh dekade Indonesia merdeka, setidaknya tiga generasi sudah merasakan proses berpolitik di negeri ini. Mulai dari zaman demokrasi parlementer sampai dengan era reformasi, lebih dari sepuluh kali pemilu telah berhasil dilaksanakan dengan baik (anda boleh mengabaikan pemilu pada masa orba kalau anda tidak setuju dengan data yang saya sebutkan). Ratusan partai juga telah berpartisipasi dengan damai di semua pemilu tersebut.
Namun sesuatu yang berhasil saya amati dari kesemua puncak multilog politik Indonesia tersebut adalah, hampir semua partai politik yang ikut serta memiliki sebuah landasan yang jelas sebagai tolak pacu nya. Landasan yang mereka bawa juga bukan ‘asal ada’ agar bisa ikut serta dalam proses perebutan kekuasaan. Landasan tersebut bisa berdasarkan agama & ketuhanan, ideologi (seperti komunisme, dll), prinsip-prinsip (seperti kenegaraan, nasionalisme, dll), pelaku karya (seperti buruh, petani, pegawai polisi, dll), dan masih banyak lagi.

Landasan itu adalah hal yang wajar karena pada praktik nya mereka semua harus berkumpul di bawah suatu ide yang disepakati secara bersama terlebih dahulu, lalu kemudian berlari untuk membuat perubahan atau mempertahankan hegemoni demi kebaikan kelompok mereka sendiri. Namun syarat mutlak sebuah partai politik bisa eksis di Indonesia tentulah harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2011 secara jelas menyebutkan bahwa Partai Politik adalah “Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Jadi kesimpulannya, beraneka ragam landasan partai politik dan tujuan kepentingan yang ada, pada akhirnya haruslah tetap memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu bagaimana dengan Partai Priboemi yang saya sebut di awal tadi?
Partai tersebut mempunyai jargon “Jadilah Tuan di Negeri Sendiri”. Saya kurang begitu paham dengan maksud menjadi tuan di negeri sendiri.
Memang pengetahuan yang saya miliki terhadap partai tersebut masih sangat minim, tetapi kesan pertama yang saya dapatkan setelah melihat nama dan jargon partai tersebut sangat jauh dari kata ‘baik’. Pertanyaan mudahnya, sejauh mana mereka mendefinisikan istilah ‘pribumi’ yang menjadi nama partai mereka? Saya ragu ‘Warga Negara Indonesia’ tidak termasuk di dalam cakupannya. Silakan kalian buka Undang-undang no.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI untuk mengetahui definisi Warga Negara Indonesia secara hukum yang berlaku.

Pribumi, apabila merujuk kepada KBBI, berarti adalah penghuni asli yang berasal dari tempat yg bersangkutan. Dalam masa kolonial Belanda, pribumi dipakai sebagai istilah bahasa melayu untuk Inlanders: salah satu kelompok penduduk Hindia-Belanda yang berasal dari suku-suku asli Kepulauan Nusantara. Sedangkan penduduk Indonesia keturunan Cina, Arab, India, dan suku bangsa lainnya semuanya digabungkan dalam satu kelompok sendiri yang disebut Vreemde Oosterlingen. Masa itu, inlanders merupakan kategori kelas masyarakat yang terbawah, dan vreemde oosterlingen dianggap satu tingkat lebih tinggi daripada inlanders. Idealnya, pengelompokan ini tidak rasistis, karena dapat terjadi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain, tetapi dalam praktek menjadi rasistis karena terjadi pembedaan penempatan dalam publik, perbedaan pengupahan/penggajian, larangan penggunaan bahasa belanda untuk kelompok tertentu, dan sebagainya. Pandangan seperti itu dianggap sebagai suatu hal yang mengucilkan martabat penduduk pribumi pada masa itu.

Relevansi fakta di atas dengan eksistensi Partai Priboemi yang saya bahas disini adalah bahwa ide dan landasan Partai Priboemi menurut saya sangat konyol. Di satu sisi sebenarnya partai ini dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan di sisi lain pendiri dan aktivis partai ini telah sepakat untuk mengangkat sentimen usang dalam lingkup yang sempit atas ide keterjajahan yang mereka bawa sebagai landasan tolak pacu nya, dan itu berpotensi menjadikan sesama warga Indonesia lainnya, yang sayangnya  mungkin bagi mereka bukan warga pribumi, untuk tidak perlu diangkat dan diperjuangkan bersama-sama. Atau bahkan mungkin lebih buruk lagi: kelompok yang perlu dilawan.

Bagi saya, sentimen negatif yang dibawa partai ini sangatlah kuat. Kecuali bagi mereka definisi pribumi adalah seluruh Warga Negara Indonesia tanpa memandang suku bangsa, maka gagasan partai ini adalah yang terburuk yang pernah ada.

Sikap Ekspresif Menjurus Exhibitionist


Source: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/exhibitionist

Kalimat di atas saya rasa cukup mendeskripsikan dengan jelas apa itu exhibitionist. Suatu terminologi yang hampir jarang ada padanan kata nya dalam Bahasa Indonesia yang baku, setidaknya dengan ilmu bahasa saya yang amat dangkal.

Tapi sayangnya, tidak membutuhkan kecerdasan setingkat Tesla untuk dapat menerjemahkannya secara simpel ke dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.
Mudahnya, jika kamu bertingkah berlebihan, bertindak berlebihan, berbuat berlebihan, dan melakukan sesuatu apapun secara berlebihan hingga menarik perhatian publik, tentu kamu telah menjadi manifestasi dari kata benda di atas.

Apakah menjadi exhibitionist adalah sesuatu yang buruk?

Oh tentu tidak sama sekali.

Hingga mencapai titik didih muak tertentu yang dapat ditolerir khalayak ramai, tindakan exhibitionist mungkin masih bisa dianggap sebagai sikap ekspresif yang menggambarkan perasaan hati seorang manusia.

Perasaan yang dimaksud tentu bisa bermacam-macam. Bisa mencakup kesenangan, kesedihan, kesepian, atau kegalauan karena sedang dalam proses mencari jati diri. Semuanya sama saja selama output yang ditimbulkan dapat menimbulkan outcome yang negatif di masyarakat. Sehingga sikap ekspresif telah dapat membuat sang pelaku dikategorikan sebagai seorang exhibitionist.

Sebenarnya ini adalah sesuatu yang lucu dan selalu dapat menjadi bahan olokan di lingkungan pergaulan. Sayangnya, pelaku exhibitionist juga seringkali tidak sadar bahwa perilakunya telah menjadi cibiran. Sehingga untuk tetap membiarkannya juga seakan-akan bagi kita hanya akan menimbun dosa, terlebih apabila kita kenal dengan sang pelaku.

Apakah ini bisa diobati?

Tenang saja, ini bukan penyakit akut. Ini hanya sikap ekpresif yang berlebihan dan memuakkan. Ingat pelajaran PMP/PPKn/PKn di tingkat SD?

"Apabila ada teman yang berbuat kesalahan, maka kita harus menasihatinya secara baik-baik."

Namun hingga titik muak tertentu, exhibitionist yang kita bahas dalam tulisan ini memiliki potensi untuk menjadi sangat akut, hingga cukup parah untuk dapat memiliki arti yang melebar seperti ini:

"Exhibitionism means the unwelcome exposure of the sex organs to others, usually strangers, in order to obtain some sexual or emotional satisfaction. This behavior is quite often compulsive. Most exhibitionist are males."

Source: Some Examples of Problematic Sexual. Magnus Hirschfeld archive for sexology. 17 September 2006.

Sangat menjijikkan, bukan?

Di titik inilah kita dapat menelurkan asumsi bahwa sang pelaku akan sangat sulit untuk disembuhkan.

Jadi?


Tetap jaga diri ya, teman-teman semuanya!

Mengapa harus takut?

Tanggal 9 Juli 2014 nanti, sebagian besar masyarakat Indonesia akan menentukan pemimpinnya untuk periode lima tahun ke depan. Tentu saya tidak perlu melakukan penyebutan berulang-ulang mengenai siapa saja pasangan yang akan bersaing untuk memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2 tersebut. Saya juga tidak perlu menjabarkan tentang kelebihan, kekurangan, dosa, dan jasa dari tiap-tiap pasangan tersebut di tulisan ini karena saya ingin menghindari segala bentuk prasangka dan dugaan pembaca bahwa saya sedang melakukan kampanye terselubung.

Mendekati 9 Juli nanti, kita, masyarakat Indonesia, seakan-akan sudah terkotak-kotakkan menjadi tiga bagian yang saling keras kepala satu sama lain. Pendukung nomor pasangan nomor urut 1, pendukung pasangan nomor urut 2, dan golongan orang-orang apatis (atau memaksakan diri untuk apatis). Bukan sesuatu yang salah apabila kita memutuskan untuk memilih menjadi salah satu bagian dari tiga golongan di atas. Toh konsekuensi dari setiap pilihan kalian nantinya akan dipikul bersama oleh lebih dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia. Atau dengan kata lain, akan dipikul bersama oleh ketiga golongan di atas.
Saya menghargai setiap pilihan dari kalian sebagaimana saya sangat menghargai pilihan saya sendiri. Kita semua sama-sama memiliki niat baik untuk kebaikan bangsa ini. Tidak perlu mengerdilkan pihak lain yang tidak sejalan dengan kita.

Sedikit catatan saya mengenai perhelatan pesta demokrasi ini bahwa sampai H-1 hari pemilihan nanti, setidaknya saya sudah banyak sekali melihat orang-orang tidak bertanggungjawab melakukan kampanye colongan dengan memanfaatkan celah social media yang kebetulan tidak diregulasi untuk dibatasi dalam masa tenang sebelum hari pencoblosan. Sayangnya, hampir semua kampanye colongan yang saya lihat tersebut justru bentuknya semakin liar dalam memojokkan lawan pilihannya.
Alasannya tentu karena oportunis saja. Mereka-mereka yang tidak bertanggungjawab itu tentu ingin memaksimalkan periode sebelum masa pemilihan untuk mengekspresikan pilihannya, atau membuat elektabilitas pasangan lawan pilihannya untuk turun—dengan segala cara.

Mengapa harus takut?

Saya yakin kalian punya alasan dan landasan tersendiri—yang cukup kuat—tentang assessment suatu calon. Dengan tingkat probabilita keterpilihan masing-masing calon yang cukup besar, 50% untuk masing-masing pasangan, tentu akan menjadi sangat penting untuk bisa meningkatkan elektabilitas pasangan pilihannya atau menurunkan elektabilitas lawan pilihannya, apalagi menjelang hari-hari pemilihan seperti ini.
Kita hanya terlalu takut bahwa apa yang kita jagokan akan kalah. Kita hanya terlalu takut bahwa jagoan lawan, yang kita persepsikan buruk, akan menjadi pemenangnya dan membawa keburukan bagi negeri ini. Memang benar bahwa kita memang wajib melakukan penilaian mendalam sebelum melakukan pilihan, tetapi kita kadang selalu ingin mencoba melampaui Tuhan dengan menjerumuskan hasil penilaian kita kepada judgment dengan fanatisme berlebihan.

Sudah cukup  kalian membanggakan pasangan pilihan kalian adalah satu-satu nya pasangan yang akan membuat negeri  ini bangkit, sama seperti kalian yang juga harus berhenti menganggap bahwa kalian telah memilih “sisi” yang benar. Patut diingat bahwa tujuan dari masing-masing kita sesungguhnya hanya ingin yang terbaik bagi negeri ini, sama seperti kedua pasangan yang kalian usung itu yang tentunya juga ingin melakukan yang terbaik bagi Indonesia.

Kini menjelang detik-detik yang semakin berlalu menuju pesta rakyat nanti, tidak perlu kalian gencarkan serangan-serangan tidak bertanggungjawab yang menjatuhkan lawan pilihan kalian. Toh apapun yang kalian lakukan, saya yakin tidak akan mengubah pilihan orang-orang yang sudah menentukan pilihannya. Jangan sampai kalian hanya ingin mengumbar nafsu belaka untuk memamerkan apa yang kalian anggap benar, apalagi sampai mencoba menjatuhkan pihak lain.


Karena kalau kalian sudah yakin akan pilihan kalian, kalau kalian sudah sama-sama punya tujuan baik untuk negeri ini, mengapa harus takut?

Akhir kata, selamat berpesta, kawan-kawan!

Refleksi 16 Tahun Reformasi Indonesia

Sistem politik Indonesia saat ini dianggap telah memasuki era demokrasi sepenuhnya. Kita memasuki situasi dan kondisi dimana pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif adalah kontribusi penuh suara dari rakyat. Berkaca pada perhelatan Pemilu yang telah berlalu, tahun 2004 dan 2009, setidaknya kita telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa pemilu yang menyeluruh, terbuka, dan rahasia telah berhasil dilaksanakan di negeri ini. Tentu dengan mengabaikan beberapa kekurangan yang menghambat penyelenggaraan pesta rakyat tersebut.
Akan tetapi, sejauh mana kita dapat yakin bahwa pemilu tersebut telah membawa output positif bagi masyarakat Indonesia? Sejauh mana kita dapat nyaman dengan sebuah pernyataan bahwa “Suara dan aspirasi kami, Rakyat Indonesia, telah berhasil disambungkan oleh mereka para wakil rakyat dan dieksekusi dengan baik oleh Presiden”?.
Indonesia telah lebih dari satu dasawarsa memasuki era reformasi. Reformasi itu sendiri berarti perubahan terhadap suatu sistem yang sudah ada. Sistem yang dimaksud disini tidak lain adalah sebuah sistem politik dan kehidupan bernegara era Orde Baru yang digawangi oleh Soeharto sebelum 1998. Yang identik pada masa orde baru tersebut adalah alpha nya pergantian kekuasaan dari pemegang jabatan eksekutif di satu masa kepemimpinan ke masa-masa kepemimpinan berikutnya. Keadaan seperti itu dianggap tidak baik bagi masyarakat karena penguasa yang berkuasa terus menerus cenderung memilkiki potensi untuk bertambah kuat dan absolut yang efek ekstrim nya dapat mengecilkan aspirasi rakyat negeri karena kekuatan penguasa yang cenderung absolut tersebut. Dan hal tersebut sedikit banyak sudah terjadi di era keemasan kepemimpinan beliau.
Demokrasi pada masa orde baru bisa dikatakan sebagai demokrasi yang semu. Undang-undang no. 3 tahun 1975 yang direvisi oleh Undang-undang no. 3 tahun 1985 yang dulu berlaku setidaknya sudah membuktikan hal tersebut. Pada undang-undang tersebut, secara garis besar, dinyatakan bahwa hanya ada dua partai politik (PPP dan PDI) dan satu golongan karya yang sah dan legal untuk menjadi wadah aspirasi politik rakyat Indonesia. Ini juga didukung oleh UUD 1945 sebelum amandemen pertama tahun 1999 tidak menyatakan  batas maksimal seorang presiden dapat terpilih kembali. Aspek-aspek legal pada masa tersebut secara kasat mata telah memuluskan salah satu pihak untuk terus berkuasa.
Sampai pada tahun 1998, saat gelombang krisis moneter Asia menerpa negeri dan di saat rakyat Indonesia sudah jemu dan menuntut untuk dilaksanakannya pergantian kekuasaan, gelombang people power menerjang hampir seantero negeri. Puncaknya adalah di Semanggi saat beberapa demonstran yang terdiri dari mahasiswa diculik dengan alasan untuk menenteramkan keadaan dan juga di istana saat Presiden berkuasa saat itu, Soeharto, akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
Gelombang reformasi pun digaungkan ke seantero negeri. Tujuannya saat itu tidak lain adalah menata kembali kehidupan bernegara (termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang), menghapus KKN dan penyimpangan kekuasaan, dan melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai masalah pertahanan dan keamanan negara. Pertanyaannya, sudah berhasilkah kita sekarang? Apa progress yang sudah berhasil kita capai?

Pesta Telah Usai
Bisa dibilang, salah satu prestasi terbaik kita di era reformasi ini adalah berjalannya demokrasi yang terbuka dan menyeluruh. Dan memang itu adalah salah satu tujuan dari reformasi. Secara kasat mata, kita meyakini bahwa sistem demokrasi yang ada sudah berjalan sebagaimana mestinya. Rakyat dapat memilih pemimpin dan wakil nya secara langsung tanpa intervensi, pemilihan diadakan secara berkala dan—melalui partai politik—siapapun bisa mencalonkan dirinya menjadi pemimpin bangsa ini.
Sayangnya salah satu keberhasilan reformasi itu seakan-akan hanya disaat penyelenggaraan pemilu nya saja. Kita seakan-akan sudah seperti terbuai oleh sebuah hingar bingar sebuah pesta malam yang semua orang begitu larut dalam euforia yang menyebar ke seluruh ruangan. Kita membayar mahal untuk tata cahaya, musik, dan untuk compliments yang disediakan. Kita pulang ke rumah masing-masing dalam keadaan “mabuk” dan baru tersadar beberapa lama kemudian, saat itulah kita menyadari bahwa “Pesta Telah Usai” dan kita tidak mendapat apa-apa selain cerita dan euforia yang tadi menyebar di seluruh lantai dansa. Mungkin itu kira-kira yang bisa menjadi gambaran bagaimana penyelenggaraan demokrasi kita di lebih satu dekade ke belakang. Saya ingin mengatakan secara gamblang, bahwa efek riil hasil prestasi reformasi kita bagi kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan minim, kalau tidak bisa dibilang gagal.

Data Berbicara
Merujuk kepada data-data indikator perekonomian yang berlaku secara umum di dunia, penyelenggaraan Pemilu yang sudah 2 sampai 3 kali ini hampir tidak membawa perubahan berarti bagi kehidupan masyarakat. Meski secara nominal, semejak era reformasi, Pendapatan Domestik Bruto kita meningkat, tetapi itu hanya sejumlah angka di atas kertas. Penikmat angka-angka fantastis itu hanya untuk beberapa kalangan terbatas. Nyatanya, disparitas kemakmuran di negeri ini semakin melebar. Pada tahun 2010, 20% penduduk terkaya negeri telah melahap lebih dari 40% distribusi pendapatan yang dihasilkan. Kalau ini agak sulit dicerna, mungkin proxy yang lebih sederhana bisa dilihat dari koefisien gini[1] negeri ini dalam 10 tahun terakhir. Mengutip data dari World Bank, koefisien gini kita memburuk dalam lebih dari 10 tahun terakhir. Tercatat pada tahun 1999, angka ini berada pada besaran 0.29, namun pada tahun 2011, angka ini telah terjun ke besaran 0.38, yang menunjukkan bahwa ketimpangan kemakmuran itu semakin melebar. Setidaknya proxy yang sederhana itu saja sudah menunjukkan bahwa ada yang melenceng dari tujuan reformasi di awal.
Dari sisi sosial dan ketokohan pun prestasi kita bisa dibilang masih jeblok. Coba kita menengok ke hasil pemilihan wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD dan DPD yang sudah tiga kali berlangsung. Sebagian besar calon wakil rakyat yang mendapatkan nomor urut strategis di partai masing-masing sudah bisa dipastikan adalah nama-nama klasik nan popular namun minim prestasi. Bukan hal yang aneh apabila partai-partai ingin mengutamakan daya tawar nya ke masyarakat dengan cara menawarkan figur-figur yang populis, tetapi jangan sampai pemilihan-pemilihan nama-nama yang berhak mendapatkan nomor urut—baik nomor strategis maupun tidak—tersebut hanya berdasarkan politik uang belaka. Hanya kaum-kaum berduit, memiliki kepentingan pribadi bagi kelompoknya, atau yang memiliki kedekatan dengan pemimpin partai yang bisa mendapatkan urutan nyaman tersebut. Kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ini begitu mudahnya dilakukan di era demokrasi terbuka apalagi dengan pengawasan dan whistle blower system yang lemah, baik dari internal partai maupun dari instrumen-instrumen kenegaraan yang ada. Gejala-gejala politik uang ini sudah lama terendus, namun hampir tidak ada yang bisa membuktikan. Kalau memang ini benar dan terus-menerus berlanjut, jangan harap adanya keterwakilan rakyat yang idealis dan benar-benar memahami permasalahan di akar rumput bisa duduk di Senayan.
Lalu bagaimana dengan kaum muda? Ada beberapa pemuda yang sepertinya bisa diharapkan untuk Indonesia ke depannya, tetapi tidak sedikit juga yang sudah tertular virus klasik bernama korupsi. Beberapa bahkan atas nama-nama yang pada awalnya kita menaruh harapan besar. Beberapa kasus yang cukup mengejutkan dan menyeret para pemuda kita adalah kasus yang menyangkut Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal, kasus pengurusan anggaran proyek Al-Quran, ataupun yang paling anyar, kasus Hambalang.

Seremonial 21 Mei
Pada akhirnya kebobrokan era reformasi ini akan bermuara pada suatu ketidakpuasan rakyat akan sistem yang ada. Sistem yang sudah kita rintis semenjak keruntuhan orde baru ini mulai dipertanyakan manfaat dan benefit nya. Mereka yang peduli—atau bahkan sudah terlalu lelah untuk peduli—menyadari bahwa kebebasan di era reformasi ini sudah dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing. Kita juga sudah sulit untuk berharap kepada lembaga hukum negara yang ada karena catatan buruk mereka juga sudah cukup banyak terkait kecacatan atas penyelenggaraan kewajiban-kewajiban mereka. Rakyat sudah tidak punya kontrol lagi atas apa yang terjadi, dan kita sudah tidak tahu lagi harus menggantungkan harapan dan aspirasi kita di lidah siapa.
Jangan sampai demokrasi yang ada hanya digawangi oleh orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri sendiri ataupun golongannya, mendahulukan kepentingan mereka daripada ratusan juta rakyat Indonesia yang menyebar dari bumi rencong sampai tanah cendrawasih, ataupun oleh orang-orang populer yang minim pengetahuan dan idealisme yang bisa memicu terbangunnya mobokrasi[2] di negeri ini.
Ada baiknya kita semua berkaca, apa kita sudah di arah yang benar menuju cita-cita reformasi yang kita perjuangkan lebih dari satu dekade yang lalu? Atau, dalam tingkatan yang ekstrim, jangan-jangan kita semua sudah tertipu. Reformasi hanya sebuah akal-akalan beberapa kelompok yang ingin memakmurkan diri secara lebih leluasa dengan menumbangkan kekakuan orde baru. Dibutuhkan kearifan, kesadaran, dan pemahaman holistik sesuai kapasitasnya masing-masing dari semua elemen masyarakat, mulai dari rakyat jelata, wakil rakyat di DPR dan DPRD masing-masing, lembaga hukum negara, partai politik, swasta, sampai dengan presiden dan wakil presiden mengenai apa yang seharusnya dilakukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat Pancasila, UUD 1945, dan juga cita-cita awal reformasi itu sendiri. Jangan sampai mereka, 4 mahasiswa Universitas Trisakti, rakyat Indonesia peranakan tionghoa, dan juga seluruh rakyat Indonesia terkait, yang wafat 16 tahun lalu itu meninggal dengan sia-sia, dan kita hanya memperingati tanggal 21 Mei setiap tahunnya hanya sebagai sebuah seremonial belaka



[1] Koefisien Gini adalah koefisien atau perhitungan yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan penduduk di suatu negara atau wilayah.
[2] Mobokrasi: Demokrasi yang kebablasan dimana pemerintahan yang ada dipimpin oleh rakyat yang tidak mengerti seluk-beluk pemerintahan

Imaji Atas Imajinasi

Aktivitas bermain yang paling menyenangkan adalah bermain-main dengan pikiran dan khayalan. Batasan kita hanyalah imajinasi yang merantai jauh sepanjang tidur dan sadar kita bisa menampungnya, sejauh kita mau.
Memang harus diakui bahwa beberapa batasan masih sering mencoba mengganggu kemesraan yang kita bentuk antara lamunan, kesadaran, pikiran, dan lowongnya ruang-ruang otak kita. Mau bukti? Aku tidak akan jauh-jauh memberikan sesuatu yang sulit, hanya bentuk pertanyaan simple saja. Seperti: “Coba kau bayangkan sebuah warna yang benar-benar baru, yang tidak pernah terpikirkan apalagi ditemukan sebelumnya, yang benar-benar di luar dari warna-warna yang selama penciptaan manusia sudah berhasil diketahui!”. Tidakkah itu mengusik imajinasi kita. Sejauh mana keliaran pikiran kita bisa menampung dan mengakomodasi berbagai pertanyaan-pertanyaan sejenis itu yang, untungnya, tidak kalah liar.
Memang sudah menjadi kharateristik pikiran manusia bahwa keabstrakan adalah fondasi utama yang membungkus tulang-tulang eksistensi nya. Yang mana keabstrakan itu sendiri serapuh tenangnya air danau yang tanpa riak tepat sebelum matahari mengintip hari dari balik cakrawala. Tenangnya air itu bagai rapuhnya imajinasi kita yang mudah sekali terpicu oleh pertanyaan-pertanyaan bodoh semacam pertanyaan tentang warna yang tadi kita bahas sebelumnya.
Sayangnya itu adalah dua sisi mata uang yang rumit. Pikiran adalah sesuatu yang sulit didefinisikan. Tanpa kerapuhan, pikiran dan imajinasi adalah nonsense. Karena kekakuan adalah milik sebuah bentuk. Bentuk itu adalah buah dari pikiran dan imajinasi yang diolah dengan tangan-tangan mulia sang pemilik imajinasi itu sendiri.
Betul, pikiran adalah rapuh, sedangkan bentuk adalah kaku. Bentuk adalah produk derivasi terbaik dari sebuah pemikiran yang ada, dari imajinasi yang terbentuk dalam sel-sel dalam otak kita. Tapi sejauh mana rapuhnya pikiran dan imajinasi itu sendiri, tidakkah kamu tahu batasannya? Batasannya bagiku sangat mudah dan jelas. Pernahkah kau bayangkan seorang Adolf Hitler bisa memiliki perasaan cinta pada seorang gadis? Ini adalah bentuk ironi terbaik bahwa sesuatu yang bisa kita asosiasikan dengan suatu pikiran jahat yang kaku dengan tembok-tembok ego yang melindunginya ternyata bisa bertindak terbalik 180 derajat untuk mencintai seorang gadis.
Aku senang bermain-main dengan imajinasi. Dan aku menikmati permainan itu. Aku menikmati kerapuhan dan liarnya alur pikiran yang mengalir, yang aku arahkan tanpa menggunakan batasan-batasan yang kaku. Aku selalu bermain dalam sadarku dan juga dalam lelapku. Dalam terpaan sang surya atau belaian lembut cahaya bulan purnama ketika ku terlelap. Karena itu selalu tentang aku. Selalu dalam alur duniaku tentang dunia ini.
Pada akhirnya harapanku cuma satu. Semoga aku bukan seorang pemimpi belaka.

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...