Antara Samudra, Lautan, Pelangi, dan Hidupku

Tulisan ini didedikasikan kepada salah seorang teman baik yang entah kenapa jalan cintanya tak pernah selancar tol cipularang

Aku yang terlanjur tenggelam di kedalaman.. Aku yang terlampau kehilangan sesuatu yang dapat kubanggakan.. dan aku yang tak pernah tau arah angin akan membawaku kemana.
Sempat suatu saat aku benar-benar merasa hancur dan lebih hina dibanding kutu-kutu di pedalaman kepala seseorang, dan lebih tidak berharga dibanding uang receh di kantong para kongomerat.
Sempat aku ingin memaki Tuhan mengeni nasibku. Pernah sedikit terlintas di benakku untuk menghujatNya dan menjauhiNya. Entah kenapa aku tak pernah bisa menghindari niat tersebut. setidaknya pada saat itu.
Sebelum aku merasa tenggelam lebih jauh, untungnya Tuhan memberikanku sebuah penyegaran bagi sanubariku yang telah lemah
Sesuatu tersebut mungkin akan kalian akan anggap remeh dan tidak terlalu penting bagi hidup kalian. Sesuatu yang akan kalian cerca dan hina sebagai bentuk kelemahan seorang lelaki. kalian tahuitu apa?
ya, sesuatu itu adalah seorang wanita.

Bagi kalian, wanita tersebut mungkin tak terlihat istimewa, namun bagiku dia adalah separuh dari alasanku untuk tetap merasa bahagia.
Bagi kalian, mungkin wanita tersebut adalah setangki air di pinggir sungai. bersih diantara keruhnya sungai yang mengalir. Namun bagiku dia adalah samudra luas di tepi padang pasir tandus kerontang. Begitu luas dan misterius dibanding keringnya gurun yang membentang. ya, aku ingin menyelaminya walaupun tangan dan kaki-kakiku takkan pernah cukup kuat untuk melakukannya.
Pernah suatu masa aku diberikan kesempatan untuk melakukannya. segala kebutuhan termasuk sepatu katak dan kacamata renangku telah siap di sampingku. Selain itu kemampuan renangku telah kupersiapkan dengan baik. Segala doa telah kupanjatkan kepadaNya dan hatiku telah kumantapkan sebelumnya.
Aku sudah mengumumkan kepada dunia bahwa aku akan melakukannya, mereka yang mengenalku pasti akan dan telah memberiku semangat. aku telah merasa yakin!
Tapi entah kenapa malam sebelum aku terjun tiba-tiba terjadi badai pasir di gurun tempatku berpijak. Semua persiapanku dihempaskan ke sisi lain bumi begitupun dengan niatku yang sudah mantap.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjut kehilangan semangat. Aku terdiam kaku dan hanya bisa menatap itu semua berlalu.
Semalaman aku merenung dan mencoba melupakan. Menyesali memang tak akan pernah berguna, tetapi apa yang akan kuperbuat apabila separuh dari semangatku enyah begitu saja.
Apa mungkin nasibku tak pernah seberuntung namaku?
Pasti butuh waktu lama untuk memastikan semuanya akan baik-baik saja. dan mungkin sudah waktunya aku sadar, bahwa ini semua belum waktunya. Bagaikan sinaran pelangi yang memancar di atas gurunku setelah badai kemarin, masih banyak sekali alasan yang dapat kumiliki agar aku tetap bahagia.

Hidup ini bagaikan deretan tuts piano yang membentang. tuts hitam dan putih melambangkan dinamika kehidupan. Hanya dengan memainkannya dengan baik maka irama dan melodi yang indah akan kita dapatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...