Refleksi 16 Tahun Reformasi Indonesia

Sistem politik Indonesia saat ini dianggap telah memasuki era demokrasi sepenuhnya. Kita memasuki situasi dan kondisi dimana pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif adalah kontribusi penuh suara dari rakyat. Berkaca pada perhelatan Pemilu yang telah berlalu, tahun 2004 dan 2009, setidaknya kita telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa pemilu yang menyeluruh, terbuka, dan rahasia telah berhasil dilaksanakan di negeri ini. Tentu dengan mengabaikan beberapa kekurangan yang menghambat penyelenggaraan pesta rakyat tersebut.
Akan tetapi, sejauh mana kita dapat yakin bahwa pemilu tersebut telah membawa output positif bagi masyarakat Indonesia? Sejauh mana kita dapat nyaman dengan sebuah pernyataan bahwa “Suara dan aspirasi kami, Rakyat Indonesia, telah berhasil disambungkan oleh mereka para wakil rakyat dan dieksekusi dengan baik oleh Presiden”?.
Indonesia telah lebih dari satu dasawarsa memasuki era reformasi. Reformasi itu sendiri berarti perubahan terhadap suatu sistem yang sudah ada. Sistem yang dimaksud disini tidak lain adalah sebuah sistem politik dan kehidupan bernegara era Orde Baru yang digawangi oleh Soeharto sebelum 1998. Yang identik pada masa orde baru tersebut adalah alpha nya pergantian kekuasaan dari pemegang jabatan eksekutif di satu masa kepemimpinan ke masa-masa kepemimpinan berikutnya. Keadaan seperti itu dianggap tidak baik bagi masyarakat karena penguasa yang berkuasa terus menerus cenderung memilkiki potensi untuk bertambah kuat dan absolut yang efek ekstrim nya dapat mengecilkan aspirasi rakyat negeri karena kekuatan penguasa yang cenderung absolut tersebut. Dan hal tersebut sedikit banyak sudah terjadi di era keemasan kepemimpinan beliau.
Demokrasi pada masa orde baru bisa dikatakan sebagai demokrasi yang semu. Undang-undang no. 3 tahun 1975 yang direvisi oleh Undang-undang no. 3 tahun 1985 yang dulu berlaku setidaknya sudah membuktikan hal tersebut. Pada undang-undang tersebut, secara garis besar, dinyatakan bahwa hanya ada dua partai politik (PPP dan PDI) dan satu golongan karya yang sah dan legal untuk menjadi wadah aspirasi politik rakyat Indonesia. Ini juga didukung oleh UUD 1945 sebelum amandemen pertama tahun 1999 tidak menyatakan  batas maksimal seorang presiden dapat terpilih kembali. Aspek-aspek legal pada masa tersebut secara kasat mata telah memuluskan salah satu pihak untuk terus berkuasa.
Sampai pada tahun 1998, saat gelombang krisis moneter Asia menerpa negeri dan di saat rakyat Indonesia sudah jemu dan menuntut untuk dilaksanakannya pergantian kekuasaan, gelombang people power menerjang hampir seantero negeri. Puncaknya adalah di Semanggi saat beberapa demonstran yang terdiri dari mahasiswa diculik dengan alasan untuk menenteramkan keadaan dan juga di istana saat Presiden berkuasa saat itu, Soeharto, akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
Gelombang reformasi pun digaungkan ke seantero negeri. Tujuannya saat itu tidak lain adalah menata kembali kehidupan bernegara (termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang), menghapus KKN dan penyimpangan kekuasaan, dan melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai masalah pertahanan dan keamanan negara. Pertanyaannya, sudah berhasilkah kita sekarang? Apa progress yang sudah berhasil kita capai?

Pesta Telah Usai
Bisa dibilang, salah satu prestasi terbaik kita di era reformasi ini adalah berjalannya demokrasi yang terbuka dan menyeluruh. Dan memang itu adalah salah satu tujuan dari reformasi. Secara kasat mata, kita meyakini bahwa sistem demokrasi yang ada sudah berjalan sebagaimana mestinya. Rakyat dapat memilih pemimpin dan wakil nya secara langsung tanpa intervensi, pemilihan diadakan secara berkala dan—melalui partai politik—siapapun bisa mencalonkan dirinya menjadi pemimpin bangsa ini.
Sayangnya salah satu keberhasilan reformasi itu seakan-akan hanya disaat penyelenggaraan pemilu nya saja. Kita seakan-akan sudah seperti terbuai oleh sebuah hingar bingar sebuah pesta malam yang semua orang begitu larut dalam euforia yang menyebar ke seluruh ruangan. Kita membayar mahal untuk tata cahaya, musik, dan untuk compliments yang disediakan. Kita pulang ke rumah masing-masing dalam keadaan “mabuk” dan baru tersadar beberapa lama kemudian, saat itulah kita menyadari bahwa “Pesta Telah Usai” dan kita tidak mendapat apa-apa selain cerita dan euforia yang tadi menyebar di seluruh lantai dansa. Mungkin itu kira-kira yang bisa menjadi gambaran bagaimana penyelenggaraan demokrasi kita di lebih satu dekade ke belakang. Saya ingin mengatakan secara gamblang, bahwa efek riil hasil prestasi reformasi kita bagi kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan minim, kalau tidak bisa dibilang gagal.

Data Berbicara
Merujuk kepada data-data indikator perekonomian yang berlaku secara umum di dunia, penyelenggaraan Pemilu yang sudah 2 sampai 3 kali ini hampir tidak membawa perubahan berarti bagi kehidupan masyarakat. Meski secara nominal, semejak era reformasi, Pendapatan Domestik Bruto kita meningkat, tetapi itu hanya sejumlah angka di atas kertas. Penikmat angka-angka fantastis itu hanya untuk beberapa kalangan terbatas. Nyatanya, disparitas kemakmuran di negeri ini semakin melebar. Pada tahun 2010, 20% penduduk terkaya negeri telah melahap lebih dari 40% distribusi pendapatan yang dihasilkan. Kalau ini agak sulit dicerna, mungkin proxy yang lebih sederhana bisa dilihat dari koefisien gini[1] negeri ini dalam 10 tahun terakhir. Mengutip data dari World Bank, koefisien gini kita memburuk dalam lebih dari 10 tahun terakhir. Tercatat pada tahun 1999, angka ini berada pada besaran 0.29, namun pada tahun 2011, angka ini telah terjun ke besaran 0.38, yang menunjukkan bahwa ketimpangan kemakmuran itu semakin melebar. Setidaknya proxy yang sederhana itu saja sudah menunjukkan bahwa ada yang melenceng dari tujuan reformasi di awal.
Dari sisi sosial dan ketokohan pun prestasi kita bisa dibilang masih jeblok. Coba kita menengok ke hasil pemilihan wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD dan DPD yang sudah tiga kali berlangsung. Sebagian besar calon wakil rakyat yang mendapatkan nomor urut strategis di partai masing-masing sudah bisa dipastikan adalah nama-nama klasik nan popular namun minim prestasi. Bukan hal yang aneh apabila partai-partai ingin mengutamakan daya tawar nya ke masyarakat dengan cara menawarkan figur-figur yang populis, tetapi jangan sampai pemilihan-pemilihan nama-nama yang berhak mendapatkan nomor urut—baik nomor strategis maupun tidak—tersebut hanya berdasarkan politik uang belaka. Hanya kaum-kaum berduit, memiliki kepentingan pribadi bagi kelompoknya, atau yang memiliki kedekatan dengan pemimpin partai yang bisa mendapatkan urutan nyaman tersebut. Kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ini begitu mudahnya dilakukan di era demokrasi terbuka apalagi dengan pengawasan dan whistle blower system yang lemah, baik dari internal partai maupun dari instrumen-instrumen kenegaraan yang ada. Gejala-gejala politik uang ini sudah lama terendus, namun hampir tidak ada yang bisa membuktikan. Kalau memang ini benar dan terus-menerus berlanjut, jangan harap adanya keterwakilan rakyat yang idealis dan benar-benar memahami permasalahan di akar rumput bisa duduk di Senayan.
Lalu bagaimana dengan kaum muda? Ada beberapa pemuda yang sepertinya bisa diharapkan untuk Indonesia ke depannya, tetapi tidak sedikit juga yang sudah tertular virus klasik bernama korupsi. Beberapa bahkan atas nama-nama yang pada awalnya kita menaruh harapan besar. Beberapa kasus yang cukup mengejutkan dan menyeret para pemuda kita adalah kasus yang menyangkut Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal, kasus pengurusan anggaran proyek Al-Quran, ataupun yang paling anyar, kasus Hambalang.

Seremonial 21 Mei
Pada akhirnya kebobrokan era reformasi ini akan bermuara pada suatu ketidakpuasan rakyat akan sistem yang ada. Sistem yang sudah kita rintis semenjak keruntuhan orde baru ini mulai dipertanyakan manfaat dan benefit nya. Mereka yang peduli—atau bahkan sudah terlalu lelah untuk peduli—menyadari bahwa kebebasan di era reformasi ini sudah dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing. Kita juga sudah sulit untuk berharap kepada lembaga hukum negara yang ada karena catatan buruk mereka juga sudah cukup banyak terkait kecacatan atas penyelenggaraan kewajiban-kewajiban mereka. Rakyat sudah tidak punya kontrol lagi atas apa yang terjadi, dan kita sudah tidak tahu lagi harus menggantungkan harapan dan aspirasi kita di lidah siapa.
Jangan sampai demokrasi yang ada hanya digawangi oleh orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri sendiri ataupun golongannya, mendahulukan kepentingan mereka daripada ratusan juta rakyat Indonesia yang menyebar dari bumi rencong sampai tanah cendrawasih, ataupun oleh orang-orang populer yang minim pengetahuan dan idealisme yang bisa memicu terbangunnya mobokrasi[2] di negeri ini.
Ada baiknya kita semua berkaca, apa kita sudah di arah yang benar menuju cita-cita reformasi yang kita perjuangkan lebih dari satu dekade yang lalu? Atau, dalam tingkatan yang ekstrim, jangan-jangan kita semua sudah tertipu. Reformasi hanya sebuah akal-akalan beberapa kelompok yang ingin memakmurkan diri secara lebih leluasa dengan menumbangkan kekakuan orde baru. Dibutuhkan kearifan, kesadaran, dan pemahaman holistik sesuai kapasitasnya masing-masing dari semua elemen masyarakat, mulai dari rakyat jelata, wakil rakyat di DPR dan DPRD masing-masing, lembaga hukum negara, partai politik, swasta, sampai dengan presiden dan wakil presiden mengenai apa yang seharusnya dilakukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan amanat Pancasila, UUD 1945, dan juga cita-cita awal reformasi itu sendiri. Jangan sampai mereka, 4 mahasiswa Universitas Trisakti, rakyat Indonesia peranakan tionghoa, dan juga seluruh rakyat Indonesia terkait, yang wafat 16 tahun lalu itu meninggal dengan sia-sia, dan kita hanya memperingati tanggal 21 Mei setiap tahunnya hanya sebagai sebuah seremonial belaka



[1] Koefisien Gini adalah koefisien atau perhitungan yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan penduduk di suatu negara atau wilayah.
[2] Mobokrasi: Demokrasi yang kebablasan dimana pemerintahan yang ada dipimpin oleh rakyat yang tidak mengerti seluk-beluk pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...