Sistem politik Indonesia saat ini
dianggap telah memasuki era demokrasi sepenuhnya. Kita memasuki situasi dan
kondisi dimana pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif adalah kontribusi penuh
suara dari rakyat. Berkaca pada perhelatan Pemilu yang telah berlalu, tahun
2004 dan 2009, setidaknya kita telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa pemilu
yang menyeluruh, terbuka, dan rahasia telah berhasil dilaksanakan di negeri
ini. Tentu dengan mengabaikan beberapa kekurangan yang menghambat
penyelenggaraan pesta rakyat tersebut.
Akan tetapi, sejauh mana kita dapat
yakin bahwa pemilu tersebut telah membawa output positif bagi masyarakat
Indonesia? Sejauh mana kita dapat nyaman dengan sebuah pernyataan bahwa “Suara
dan aspirasi kami, Rakyat Indonesia, telah berhasil disambungkan oleh mereka
para wakil rakyat dan dieksekusi dengan baik oleh Presiden”?.
Indonesia telah lebih dari satu
dasawarsa memasuki era reformasi. Reformasi itu sendiri berarti perubahan
terhadap suatu sistem yang sudah ada. Sistem yang dimaksud disini tidak lain
adalah sebuah sistem politik dan kehidupan bernegara era Orde Baru yang
digawangi oleh Soeharto sebelum 1998. Yang identik pada masa orde baru tersebut
adalah alpha nya pergantian kekuasaan dari pemegang jabatan eksekutif di satu
masa kepemimpinan ke masa-masa kepemimpinan berikutnya. Keadaan seperti itu
dianggap tidak baik bagi masyarakat karena penguasa yang berkuasa terus menerus
cenderung memilkiki potensi untuk bertambah kuat dan absolut yang efek ekstrim
nya dapat mengecilkan aspirasi rakyat negeri karena kekuatan penguasa yang
cenderung absolut tersebut. Dan hal tersebut sedikit banyak sudah terjadi di
era keemasan kepemimpinan beliau.
Demokrasi pada masa orde baru bisa
dikatakan sebagai demokrasi yang semu. Undang-undang no. 3 tahun 1975 yang
direvisi oleh Undang-undang no. 3 tahun 1985 yang dulu berlaku setidaknya sudah
membuktikan hal tersebut. Pada undang-undang tersebut, secara garis besar,
dinyatakan bahwa hanya ada dua partai politik (PPP dan PDI) dan satu golongan
karya yang sah dan legal untuk menjadi wadah aspirasi politik rakyat Indonesia.
Ini juga didukung oleh UUD 1945 sebelum amandemen pertama tahun 1999 tidak
menyatakan batas maksimal seorang
presiden dapat terpilih kembali. Aspek-aspek legal pada masa tersebut secara
kasat mata telah memuluskan salah satu pihak untuk terus berkuasa.
Sampai pada tahun 1998, saat
gelombang krisis moneter Asia menerpa negeri dan di saat rakyat Indonesia sudah
jemu dan menuntut untuk dilaksanakannya pergantian kekuasaan, gelombang people power menerjang hampir seantero
negeri. Puncaknya adalah di Semanggi saat beberapa demonstran yang terdiri dari
mahasiswa diculik dengan alasan untuk menenteramkan keadaan dan juga di istana
saat Presiden berkuasa saat itu, Soeharto, akhirnya mengundurkan diri dari
jabatannya.
Gelombang reformasi pun digaungkan
ke seantero negeri. Tujuannya saat itu tidak lain adalah menata kembali
kehidupan bernegara (termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang),
menghapus KKN dan penyimpangan kekuasaan, dan melakukan perbaikan di segenap
bidang kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai
masalah pertahanan dan keamanan negara. Pertanyaannya, sudah berhasilkah kita
sekarang? Apa progress yang sudah berhasil kita capai?
Pesta Telah Usai
Bisa dibilang, salah satu prestasi
terbaik kita di era reformasi ini adalah berjalannya demokrasi yang terbuka dan
menyeluruh. Dan memang itu adalah salah satu tujuan dari reformasi. Secara
kasat mata, kita meyakini bahwa sistem demokrasi yang ada sudah berjalan
sebagaimana mestinya. Rakyat dapat memilih pemimpin dan wakil nya secara
langsung tanpa intervensi, pemilihan diadakan secara berkala dan—melalui partai
politik—siapapun bisa mencalonkan dirinya menjadi pemimpin bangsa ini.
Sayangnya salah satu keberhasilan
reformasi itu seakan-akan hanya disaat penyelenggaraan pemilu nya saja. Kita seakan-akan
sudah seperti terbuai oleh sebuah hingar bingar sebuah pesta malam yang semua
orang begitu larut dalam euforia yang menyebar ke seluruh ruangan. Kita
membayar mahal untuk tata cahaya, musik, dan untuk compliments yang disediakan. Kita pulang ke rumah masing-masing
dalam keadaan “mabuk” dan baru tersadar beberapa lama kemudian, saat itulah kita
menyadari bahwa “Pesta Telah Usai” dan kita tidak mendapat apa-apa selain
cerita dan euforia yang tadi menyebar di seluruh lantai dansa. Mungkin itu
kira-kira yang bisa menjadi gambaran bagaimana penyelenggaraan demokrasi kita
di lebih satu dekade ke belakang. Saya ingin mengatakan secara gamblang, bahwa
efek riil hasil prestasi reformasi kita bagi kehidupan bermasyarakat bisa
dikatakan minim, kalau tidak bisa dibilang gagal.
Data Berbicara
Merujuk kepada data-data indikator
perekonomian yang berlaku secara umum di dunia, penyelenggaraan Pemilu yang
sudah 2 sampai 3 kali ini hampir tidak membawa perubahan berarti bagi kehidupan
masyarakat. Meski secara nominal, semejak era reformasi, Pendapatan Domestik
Bruto kita meningkat, tetapi itu hanya sejumlah angka di atas kertas. Penikmat
angka-angka fantastis itu hanya untuk beberapa kalangan terbatas. Nyatanya,
disparitas kemakmuran di negeri ini semakin melebar. Pada tahun 2010, 20%
penduduk terkaya negeri telah melahap lebih dari 40% distribusi pendapatan yang
dihasilkan. Kalau ini agak sulit dicerna, mungkin proxy yang lebih sederhana bisa dilihat dari koefisien gini[1]
negeri ini dalam 10 tahun terakhir. Mengutip data dari World Bank, koefisien
gini kita memburuk dalam lebih dari 10 tahun terakhir. Tercatat pada tahun
1999, angka ini berada pada besaran 0.29, namun pada tahun 2011, angka ini
telah terjun ke besaran 0.38, yang menunjukkan bahwa ketimpangan kemakmuran itu
semakin melebar. Setidaknya proxy
yang sederhana itu saja sudah menunjukkan bahwa ada yang melenceng dari tujuan
reformasi di awal.
Dari sisi sosial dan ketokohan pun
prestasi kita bisa dibilang masih jeblok. Coba kita menengok ke hasil pemilihan
wakil rakyat untuk duduk di DPR, DPRD dan DPD yang sudah tiga kali berlangsung.
Sebagian besar calon wakil rakyat yang mendapatkan nomor urut strategis di
partai masing-masing sudah bisa dipastikan adalah nama-nama klasik nan popular
namun minim prestasi. Bukan hal yang aneh apabila partai-partai ingin
mengutamakan daya tawar nya ke masyarakat dengan cara menawarkan figur-figur
yang populis, tetapi jangan sampai pemilihan-pemilihan nama-nama yang berhak
mendapatkan nomor urut—baik nomor strategis maupun tidak—tersebut hanya
berdasarkan politik uang belaka. Hanya kaum-kaum berduit, memiliki kepentingan
pribadi bagi kelompoknya, atau yang memiliki kedekatan dengan pemimpin partai
yang bisa mendapatkan urutan nyaman tersebut. Kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan ini begitu mudahnya dilakukan di era demokrasi terbuka apalagi
dengan pengawasan dan whistle blower
system yang lemah, baik dari internal partai maupun dari instrumen-instrumen
kenegaraan yang ada. Gejala-gejala politik uang ini sudah lama terendus, namun
hampir tidak ada yang bisa membuktikan. Kalau memang ini benar dan
terus-menerus berlanjut, jangan harap adanya keterwakilan rakyat yang idealis
dan benar-benar memahami permasalahan di akar rumput bisa duduk di Senayan.
Lalu bagaimana dengan kaum muda? Ada
beberapa pemuda yang sepertinya bisa diharapkan untuk Indonesia ke depannya,
tetapi tidak sedikit juga yang sudah tertular virus klasik bernama korupsi.
Beberapa bahkan atas nama-nama yang pada awalnya kita menaruh harapan besar. Beberapa
kasus yang cukup mengejutkan dan menyeret para pemuda kita adalah kasus yang
menyangkut Dana
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tertinggal, kasus pengurusan
anggaran proyek Al-Quran, ataupun yang paling anyar, kasus Hambalang.
Seremonial 21 Mei
Pada akhirnya kebobrokan
era reformasi ini akan bermuara pada suatu ketidakpuasan rakyat akan sistem
yang ada. Sistem yang sudah kita rintis semenjak keruntuhan orde baru ini mulai
dipertanyakan manfaat dan benefit nya.
Mereka yang peduli—atau bahkan sudah terlalu lelah untuk peduli—menyadari bahwa
kebebasan di era reformasi ini sudah dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk
memperkaya diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing. Kita juga sudah
sulit untuk berharap kepada lembaga hukum negara yang ada karena catatan buruk
mereka juga sudah cukup banyak terkait kecacatan atas penyelenggaraan kewajiban-kewajiban
mereka. Rakyat sudah tidak punya kontrol lagi atas apa yang terjadi, dan kita
sudah tidak tahu lagi harus menggantungkan harapan dan aspirasi kita di lidah
siapa.
Jangan sampai demokrasi
yang ada hanya digawangi oleh orang-orang yang hanya ingin memperkaya diri
sendiri ataupun golongannya, mendahulukan kepentingan mereka daripada ratusan
juta rakyat Indonesia yang menyebar dari bumi rencong sampai tanah cendrawasih,
ataupun oleh orang-orang populer yang minim pengetahuan dan idealisme yang bisa
memicu terbangunnya mobokrasi[2] di
negeri ini.
Ada baiknya kita semua berkaca, apa kita sudah
di arah yang benar menuju cita-cita reformasi yang kita perjuangkan lebih dari
satu dekade yang lalu? Atau, dalam tingkatan yang ekstrim, jangan-jangan kita
semua sudah tertipu. Reformasi hanya sebuah akal-akalan beberapa kelompok yang
ingin memakmurkan diri secara lebih leluasa dengan menumbangkan kekakuan orde
baru. Dibutuhkan kearifan, kesadaran, dan pemahaman holistik sesuai
kapasitasnya masing-masing dari semua elemen masyarakat, mulai dari rakyat
jelata, wakil rakyat di DPR dan DPRD masing-masing, lembaga hukum negara,
partai politik, swasta, sampai dengan presiden dan wakil presiden mengenai apa
yang seharusnya dilakukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai
dengan amanat Pancasila, UUD 1945, dan juga cita-cita awal reformasi itu
sendiri. Jangan sampai mereka, 4 mahasiswa Universitas Trisakti, rakyat
Indonesia peranakan tionghoa, dan juga seluruh rakyat Indonesia terkait, yang
wafat 16 tahun lalu itu meninggal dengan sia-sia, dan kita hanya memperingati
tanggal 21 Mei setiap tahunnya hanya sebagai sebuah seremonial belaka
[1] Koefisien Gini adalah koefisien atau
perhitungan yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan
penduduk di suatu negara atau wilayah.
[2] Mobokrasi: Demokrasi yang kebablasan
dimana pemerintahan yang ada dipimpin oleh rakyat yang tidak mengerti
seluk-beluk pemerintahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar