Tentang Pilkada DKI, 15 Februari 2017

Memilih adalah sebuah bentuk preferensi.
Jangan jauh-jauh bicara "rasionalitas dan objektivitas" karena preferensi itu sudah pasti kaya akan "favoritism dan subjektivitas".
Pertimbangan bisa datang dari diri sendiri, kebanyakan datang dari pengaruh lingkungan.

Terutama yang sifatnya sugesti dari lingkungan, banyak sekali yang hal bisa saling menyambung dan disambungkan. Mulai dari yang level nya 'bisa diterima akal' sampai dengan level 'ini akal-akalan apalagi sih?'.

Saya sangat tergelitik dengan isu-isu yang berkembang saat ini, terutama menjelang pemilu DKI-1.
Lupakan dulu rumor-rumor tentang nafsu besar sang 'mantan' untuk memuluskan sang putera mahkota menampuk kursi pemimpin ibukota. Karena pembahasan saya tidak akan kesitu (dan bisa jadi hanya penghangat skenario, belum tentu benar).

Yang menarik dalam gelaran pilkada episode ini adalah friksi dan opini yang berkembang antara memilih pemimpin muslim dan non-muslim, pribumi dan non-pribumi.
Tema yang cukup basi dan lapuk, dan agak-agak pahlawan kesiangan juga karena uneg-uneg ini baru dirilis di hari-H. Tapi buah pikiran ini saya rasa terlampau sayang kalau hanya abadi dalam ruang imaji saya sendiri.

Baiklah, melanjutkan kalimat saya di atas tadi: memilih (pemimpin) adalah sebuah bentuk preferensi. Silakan pilih sesuai dengan keinginan hati, baik itu berdasarkan gender, tinggi badan, keimanan, suku/ras, dan seterusnya. Toh ini negara demokrasi.


Tetapi apakah bisa dibenarkan mendorong orang lain untuk menjatuhkan pilihan dengan mengancam orang tersebut menjadi 'auto-kafir' atau 'anti NKRI'?

Ancaman-ancaman yang berseliweran itu mau tidak mau pasti akan masuk ke alam bawah sadar pemilih yang bisa mempengaruhi pilihannya jauh ke dalam bias.

Hei bung, ini cuma pemilihan gubernur. Ini pun juga tentang adu program. Untuk itu, dalam rangkaian tulisan saya ke depanya, saya akan coba men-dispose ancaman-ancaman orang tidak bertanggung jawab tersebut satu persatu:

1. Auto-kafir.
Banyak masyarakat yang beragama islam tiba-tiba menjadi sangat concern tentang memilih pemimpin muslim. Tidak salah memang. Tapi kebanyakan seperti tergesa-gesa dan kurang tabayyun.
Banyak yang dimajukan adalah ayat tentang larangan memajukan orang kafir sebagai waly dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (QS: An-nisa, 144).

Yang menarik dari ayat tersebut adalah yang diutamakan adalah orang-orang mukmin, bukan sekedar muslim. Mukmin adalah muslim dengan derajat keimanan yang lebih tinggi. Seorang munafik pun tetap bisa dikatakan sebagai orang islam/muslim di dunia.
Jadi hati-hati dalam memilih pemimpin, analogi nya: orang islam tukang tilep duit rakyat pun bisa-bisa dibenarkan jadi presiden kalau lawan kandidatnya adalah non-muslim.

Lalu selanjutnya tentang kafir itu sendiri. Istilah kafir adalah istilah dalam agama islam untuk menyebut orang-orang yang tidak mengimani Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasulullah. Simpelnya adalah orang-orang non-muslim.
Kurang lebih mungkin sama seperti istilah 'domba-domba tersesat' dalam ajaran kristian untuk menandai orang-orang non-kristian.

Tetapi bung, dalam konteks pilkasa DKI ini, kalau pilihannya saat ini adalah muslim dan kafir, saya rasa peluang ketiganya sama besar.
Yang jelas paslon no. 2 itu kafir dan dua paslon yang lain adalah muslim.
Apakah pemilih muslim harus memilih yang muslim? nanti dulu.
Karena untuk menilai derajat keimanan dua paslon lainnya dikembalikan kepada masing-masing pemilih. Kalau sudah yakin paslon yang muslim adalah mukmin yang kuat, silahkan dipilih dan jangan meragu.

Berpikirlah lebih rasional dan jangan takut dihardik menjadi kafir (auto-kafir) hanya karena memilih pasangan yang terbaik, kafir maupun muslim.

2. Anti-NKRI.
Ini lebih lucu lagi.

Pertanyaan analoginya: "Apa bedanya kalau saya memilih Habib Rizieq menjadi presiden RI dengan saya kalau memilih Basuki (Ahok)?".
Hampir tidak ada bedanya.
Mereka berdua memang hampir mirip satu sama lain: yang satu WNI keturunan nabi (Arab), yang satu lagi WNI keturunan Tionghoa.
KTP mereka WNI dan mereka berdua punya hak politik yang sama di negeri ini. Mereka sama-sama memenuhi syarat-syarat sebagai presiden yang notabene: harus pribumi, lahir di tanah Indonesia, tinggal di Indonesia. tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan seterusnya.
Hanya saja kalau saya pilih Ahok, bisa-bisa saya dicap anti NKRI, pendukung komunis, dan pro-aseng. Lucu.

Hal yang sama juga kurang lebih dapat berlaku untuk Pilkada DKI ini.
Jangan termakan ancaman disebut anti-NKRI karena memilih pasangan yang terbaik, baik itu WNI keturunan maupun bukan.

Sekali lagi, Memilih adalah sebuah bentuk preferensi.
Tetapi tidak mustahil untuk kita dapat bersikap lebih rasional.

Demi Jakarta yang lebih baik.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...