Asa Milik Cakrawala

“Cakra..Cakra..”

Samar-samar suara tersebut bergaung di pikiranku.

“Cakra..bangun nak. Nanti kita telat.”

Tegas suara wanita itu terdengar, mendorongku untuk segera bangkit dari tempat tidur.

Aku terduduk seakan masih mengumpulkan nyawa. Kugosokkan kedua mataku dengan sedikit tekanan agar kantuk ini segera terusir. Jam weker di atas meja kerja kayu di seberang ruangan masih menunjukkan pukul lima pagi.

Masih pagi. Tapi itu menjadi sentakan bagiku karena hari ini aku teringat bahwa kami memang harus bangun sepagi ini. Pesawat kami akan take-off pukul setengah sembilan, dan jarak dari rumah ke bandara bisa memakan waktu dua jam sendiri.

Tidak sampai tiga puluh menit kemudian aku sudah beranjak dari tempat tidurku, merapikan rambut sebentar, mengambil wudhu, sholat subuh, dan selesai mandi. Koperku sudah siap di ujung ruangan. Kami sudah siap bepergian hari ini, mengunjungi sanak saudara kami di Palembang.

Di ruang tamu kulihat ibu, dan adikku juga sudah siap dengan bawaannya masing-masing. Mereka tampak sibuk.
“Naikkan tas kamu ke bagasi sekarang. Itu taxi nya di depan sudah datang”. Perintah ayah kepadaku.

Bawaanku sebenarnya tidak banyak, hanya satu ransel berukuran sedang. Itu karena kami hanya akan bepergian selama tiga hari saja, jadi kurasa tidak perlu membawa terlalu banyak keperluan. Tanpa banyak bicara kumasukkan tasku ke dalam bagasi, dan kududukan diriku di kursi paling depan Tidak sampai lima menit kemudian kami semua sudah naik—kecuali ayahku. Dia memang tidak bisa ikut karena ada pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Tak berapa lama kemudian ibuku memerintahkan pak supir untuk jalan. Dia melambaikan tangan salam perpisahan kepada ayahku yang berjaga di depan pagar.

“Mah, kita kan masih dua jam lagi. Bagi roti nya dong”. Sahut adikku kepada ibu.

Ibu ku mengeluarkan sesuatu dari tas nya. Roti isi coklat.

“Cakra juga mau mah”. Aku tak mau kalah. Bangun sepagi ini sangat memicu perut untuk segera diisi. Adikku pun juga sepertinya kelaparan. Tanpa banyak bicara sudah dua tangkup roti mantap dalam genggamannya.

Sepanjang jalan aku tak banyak bicara, kantuk masih sangat terasa di mata. Begitupun dengan adikku. Dia lebih banyak tenggelam dengan smartphone nya. Sedangkan ibuku daritadi berceloteh tentang kabar terkini sanak saudara kami di Palembang, dan juga membahas tentang rencana perjalanan disana. Aku tidak terlalu tertarik, bagiku bisa jalan-jalan saja sudah menyenangkan.

Aku termenung sepanjang jalan. Menikmati jalanan Jakarta sepagi ini—dan tanpa kemacetan—benar-benar menyenangkan. Mungkin kalau selancar ini kami bisa lebih cepat setengah jam sampai di bandara. Tanpa terasa kelengangan jalan ini mulai membuaiku. Aku pun tertidur.

***
Pukul setengah delapan kami sudah berada di ruang tunggu terminal dua. Suasana bandara cukup sibuk. Terlihat beberapa orang berpakaian pilot dan pramugari lalu lalang di sekitar ruangan. Entah mereka akan segera terbang, atau baru mendarat.

Aku mengecek smartphone ku untuk sekedar menghabiskan waktu. Beberapa berita di media sosial tidak menunjukkan sesuatu yang menarik. Ku-scroll timeline ku dengan bosan. Sampai tanpa sadar ada satu berita yang menggeletikku.

“Mah, liat deh”. Kusodorkan smartphone ku kepada ibu. Dia membetulkan kacamatanya untuk membuatnya bisa lebih fokus membaca.


“Apa ini akan baik-baik saja, mah?”

“In shaa Allah, nak. Mama rasa sih ga akan kenapa-kenapa. Cuaca buruk itu kan biasa. Kita berdoa aja sama Allah SWT supaya aman sampai Palembang.” Ibuku tersenyum mencoba menenangkan.

Well, walaupun begitu tetap saja ada sedikit kegelisahan tersisa di hatiku. Aku memang tahu bahwa perjalanan dengan pesawat adalah yang teraman di dunia dibanding dengan menggunakan moda transportasi lain. Tetapi aku paling takut dengan turbulensi, dan membayangkan kemungkinan bahwa kita bisa jatuh dari ketinggian puluhan ribu kaki—yang apabila itu terjadi—sungguh adalah kematian yang tak terhindarkan.

Aku memalingkan pandanganku ke jendela ruang tunggu. Tampak mendung mulai memenuhi cakrawala di langit sebelah barat.

Kualihkan perhatianku pada adikku, dia masih belum beranjak dari smartphone nya. Selang beberapa detik kemudian sepertinya dia sadar sedang kuperhatikan.

“Kenapa, kak?” tanya nya.

Kusunggingkan senyum tipis, sepertinya ini hanya pikiranku saja yang berlebihan.

***
Perjalanan menuju Bandara Sultan Badaruddin II memakan waktu satu jam sepuluh menit. Saat ini kami sudah sekitar 35 menit di udara. Cuaca di luar benar-benar gelap tak terkira, padahal masih pagi. Awan pekat menyelimuti angkara. Turbulensi telah beberapa kali terjadi, dan pilot pesawat sudah dua kali kali menghimbau kami agar tetap berada di kursi dan menegakkan sandaran.

Kupandangi keadaan sekeliling kabin. Suasana tampak tenang. Entah mereka benar-benar tenang atau sekedar diam dalam cemas. Ibuku juga nampak tenang namun terlihat waspada. Dia terlihat sedang berkomat-kamit, mungkin sedang membaca ayat-ayat suci. Adikku di kursi samping seberang lorong jalan juga nampak tenang, dia sedang mendengarkan lagu.

Turbulensi cukup kencang kembali terjadi. Terasa pesawat sepertinya terdorong ke bawah beberapa meter. Aku terbengong cukup lama. Aku tidak menyukai suasana mencekam ini. Komat-kamit ibuku terdengar makin keras. Adikku terlihat memejamkan mata, dia nampak sangat tegang.

Selang beberapa detik kemudian, dari jendela kabin nampak kilatan cahaya menyambar sayap pesawat sebelah kanan. Suara dentuman sekencang bom terdengar. Teriakan penumpang memenuhi kabin. Mengerikan. Sedetik kemudian tiba-tiba kabin menjadi gelap. Pesawat terasa merosot turun menyusuri atmosfer dengan cepat. Sayup-sayup terdengar pengumuman dari pilot pesawat meminta penumpang untuk mengenakan rompi pengaman. Sepertinya dia akan mencoba melakukan pendaratan darurat di Selat Sunda.

Kugapai benda kuning itu di kolong kursiku. Dengan payah kucoba kenakan di tubuh. Agak sulit dalam keadaan panik seperti ini. Lalu beberapa detik kemudian terasa pesawat menghantam sesuatu yang keras di bawah, mungkin permukaan laut. Pada saat yang bersamaan tedengar dentuman kembali seperti bom, dan juga suara retakan badan pesawat yang menggetarkan tulang. Dan pandangan pun menjadi gelap pekat.

***
Seberkas sinar mentari yang menghangatkan membelai wajahku. Pelan-pelan kucoba untuk membuka mata. Sudah sore, pikirku. Mungkin saat ini pukul tiga. Tapi dimana aku berada sekarang? Aku merasa tidak seharusnya aku berada disini. Ingatan terakhir yang ku punya adalah bahwa aku sedang berada di dalam pesawat yang akan mengalami kecelakaan.

Kecelakaan pesawat.

Ya. Aku mengalami kecelakaan pesawat! Dan mendapati diriku masih selamat seperti ini sungguh merupakan keajaiban. Kusentuh tubuhku dari rambut sampai ujung kaki, tidak ada yang terasa sakit. Rompi keselamatan masih menempel di badanku. Aku merasa sangat bersyukur. Dan tiba-tiba aku teringat ibu dan adikku.

Dimana mereka?

Kupandangi tempatku berada sekarang. Aku mengambil posisi duduk agar dapat menelaah dengan jelas. Tampaknya aku sedang berada di sebuah gubuk tua. Entah ini milik siapa, mungkin warga sekitar lokasi jatuhnya pesawat yang bermurah hati.

Dipan tempatku tertidur juga nampak sudah lapuk, namun sangat nyaman. Di seberang dipan ada sebuah meja dengan ceret dan segelas teh coklat yang nampak hangat, manis, dan menggoda. Kucoba menjejakkan langkahku di tanah dan mendekati gelas teh tersebut.

Benar, memang masih hangat. Kuteguk teh tersebut dengan rasa syukur tiada tara.

Kuperhatikan kembali sekeliling gubuk tersebut. Kemana pemiliknya? Aku ingin sekali menanyakan tentang kecelakaan pesawat tersebut, para korban—termasuk keluargaku—dan mengapa aku bisa berada disini?

Tidak ada televisi maupun radio di gubuk ini. TIdak ada media apapun yang bisa kugunakan untuk mendapatkan informasi. Lalu kurogoh kantung celanaku, berharap menemukan smartphone ku disana. Memang ada, tetapi tidak bisa kunyalakan. Mungkin mati karena terkena garam dan air laut.

Kupandang keluar jendela gubuk dengan tatapan pasrah. Mencoba mempelajari keadaan sekitar. Seperti nya aku ada di tengah kebun. Samar-samar terdengar desir air laut di kejauhan. Pantai tidak jauh dari sini rupanya.

Aku mencoba memberanikan diri untuk melihat keadaan di luar. Kubawa diriku keluar, dan baru saja kakiku menjejakkan tanah di depan pintu, terdengar suara wanita dengan tegas berbicara kepadaku.

“Tidak ada yang perlu dicemaskan”. Katanya dengan suara parau.

Sesosok nenek tua muncul dari balik rimbunan pohon pisang. Tubuhnya bungkuk dan cukup renta. Dan dia nampak membawa sesuatu di punggungnya.

“Pisang nak. Sudah matang dan manis. Nah, sekarang kamu mau kemana?” Tanya nya tiba-tiba, mengabaikan paras keherananku setelah mendapatinya.

“Nenek yang punya gubuk ini?” Tanyaku polos.

“Ya dan tidak. Nenek memang menempatinya, tetapi semua milik Tuhan”.

Aku tidak mengerti dengan jawabannya. Tetapi ada yang jauh lebih penting untuk ditanyakan. Tentang kecelakaan itu.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak karena telah menyelamatkan saya. Saya baru saja mengalami kecelakaan pesawat, dan..entah mengapa keajaiban sepertinya terjadi, saya tidak mengalami luka atau merasa sakit sedikitpun. Dan..dan..yah, saya tidak tau bagaimana nenek bisa menemukan saya. Lalu..bagaimana dengan korban yang lain, apa nenek tahu?” Cerocosku dengan membati buta.

“Pelan-pelan lah nak, jangan terburu-buru. Nanti kamu akan segera tahu. Dan kamu bilang tadi ‘pesawat’? Maksudmu burung besi yang mengerikan itu?”

Ah ya, orang tua yang tinggal jauh sendirian seperti dirinya mungkin tidak tahu mengenai pesawat atau kemajuan teknologi lainnya. Aku mengangguk dengan pelan untuk mengiyakannya, menghindari untuk mencoba memberikan penjelasan kepadanya tentang ‘pesawat’ karena kurasa pasti akan sia-sia.

“Nenek tidak tahu tentang yang lain nak. Yang nenek tahu cuma kamu. Beberapa jam lalu kamu tertidur di pantai pulau ini. Terlihat nyenyak sekali”. Jawabnya.

Jadi kemungkinan hanya aku yang selamat, gumamku.

“Lalu, sebenarnya ini dimana, nek?” Tanyaku polos.

“Ini? Entahlah. Sudah puluhan tahun nenek tinggal disini. Namun orang-orang menyebutnya Sebuku. Jadi anggap saja itulah namanya.”

Aku mengangguk mendengarkan penjelasannya. Sedikit terasa mengganjal di hatiku. Aku bersyukur aku selamat, namun aku ingin sekali mengetahui kabar keluargaku. Seketika aku berniat mencari penduduk lain, atau setidaknya orang lain di pulau ini yang bisa kutemui. Aku sangat membutuhkan informasi.

“Nenek tinggal sendiri disini?” Tanyaku lagi.

“Tidak, tentu saja tidak. Ada beberapa yang lain. Mungkin saja nanti kamu akan menemui mereka.”

“Dimana aku bisa menemui mereka, nek?”

“Nenek tidak ingat tempat tinggal mereka. Coba saja kamu berkeliling pulau ini, atau ke arah pantai apabila kamu mau mencoba peruntungan menemukan keramaian.” Jawabnya.

Pantai adalah ide bagus. Setidaknya pasti ada orang disana, atau mungkin wisatawan yang sedang snorkeling atau hanya sekedar bermain pasir. Dengan sedikit panduan arah dari nenek tersebut, hanya butuh waktu 15 menit saja aku bisa mencapai pantai. Sedang nenek itu lebih memilih tinggal di gubuk. Dia mempersilakanku untuk mengunjungi nya kembali nanti malam apabila butuh tempat tinggal.

***
Pantai ini indah. Pasir putih kekuningan, air laut yang dangkal dan bening menjadi tirai panorama yang menakjubkan. Seandainya ini liburan—alih-alih terdampar disini karena kecelakaan—pasti akan sangat menyenangkan sekali. Pikiran seperti itu mau tak mau memaksaku untuk semakin mengkhawatirkan tentang ibu dan adikku.



Dimanakah mereka?

Aku mencoba memandang sekeliling. Tidak ada siapa-siapa disini. Tidak mungkin.

Lalu aku memandang ke arah laut. Setitik perahu nampak di beberapa ratus meter di tengah laut.

Ada manusia!

“Heeeei Perahu! Kemarii! Toloooong!” Teriakku dengan senyaring-nyaringnya. Kutunggu beberapa detik, lalu kuteriakkan kembali teriakkan yang sama.

Tidak bergeming?

Kurasa mereka tidak bisa mendengarku. Tapi aku tidak peduli, aku terus berteriak.

***
TIga puluh menit yang sia-sia.

Entah karena teriakanku yang kurang pekak, atau tertutup debur ombak, atau memang mereka yang tidak mendengar, namun usahaku sia-sia. Dalam lelah aku pun terduduk di pasir pantai. Sedih dan khawatir bercampur menjadi satu tidak keruan. Mau menangis pun percuma, tidak ada yang peduli.

Aku merebahkan diriku. Terasa damai sekali. Matahari perlahan terasa mulai turun ke peraduannya. Suara burung laut menambah syahdu suasana. Aku merasa ingin tidur kembali dan mencoba melupakan semuanya untuk sejenak. Berharap saat terbangun nanti aku sudah berada di rumah. Bersama orang-orang tersayang.

Tetapi mana mungkin. Aku tidak mengantuk. Dan lagipula hari juga belum gelap. Akhirnya aku merasa cukup dengan memejamkan mata saja.

Damai sekali rasanya.

***
Mungkin ada sekitar sepuluh menit aku bertahan dengan posisi seperti itu. Rasanya seperti di surga. Aku merasa kembali bersemangat untuk mencoba mengais harapan kembali.

Kududukkan diriku di pantai. Belaian angin laut terasa tegas dan lembut menyentuh wajahku.

Beberapa menit kemudian aku mendengar deru perahu motor di kejauhan.

Ada harapan!

Tanpa berpikir panjang aku bangkit dan berlari menuju arah suara. Beberapa ratus meter di kejauhan. Aku berjalan cepat dengan sedikit terhambat pasir pantai. Pikirku, aku harus segera menemui mereka dan bertanya apapun tentang kecelakaan pesawat itu, dan juga tentang para korban yang lainnya!

Beberapa belas detik aku berjalan, aku sudah bisa melihat mereka. Kerumunan orang-orang yang terlihat tangguh dan memakai jaket oranye bertuliskan “BASARNAS”. Tim SAR telah datang! Entah bagaimana caranya, namun mereka bisa menemukanku!

Sekejap aku memicingkan mata dan memandang mereka dengan lebih teliti. Sepertinya aku mendapati sosok yang familiar. Ada ayahku di antara mereka! Kufokuskan mataku dengan harapan mendapat visi yang lebih jelas. Dan benar saja, itu memang ayahku. Aku menjadi semakin bersemangat untuk menemui mereka.

Dengan tertatih-tatih namun penuh semangat aku melanjutkan langkah-langkah ku yang penuh harap untuk menghampiri mereka. Senyum lebar tersungging di bibirku.

Namun tiba-tiba aku terjatuh tersandung karang yang entah darimana seperti muncul tiba-tiba dari dalam pasir.

Karang sialan! pikirku.

Posisi jatuhku rebah tertelungkup, jadi terasa cukup merepotkan untuk bangun kembali. Akan tetapi sebelum bangkit, aku mendapati ada selembar brosur wisata teronggok di depan mataku di tempat posisi ku jatuh saat ini. Mungkin milik wisatawan atau pengelola tur yang tertinggal. Dengan tanpa sengaja kucoba membaca apa yang tertulis disana.


Pulau Sebuku: Snorkel dan Pesona Wisata Pantai Pulau Tak Berpenghuni di Selat Sunda


Tak berpeghuni? Bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dengan nenek tadi?

Tapi sudahlah.. Itu masalah lain yang bisa dituntaskan di kemudian hari. Yang paling penting sekarang adalah aku ingin sekali menemui ayahku. Mereka adalah penyelamatku saat ini. Dengan semangat penuh aku mencoba bangkit kembali.

Tetapi…hey! Sekujur tubuhku terasa kaku. Mana mungkin ada cedera yang muncul akibat tersandung tadi. Itu kan jatuh yang ringan.

Dengan penuh tenaga aku mencoba menggerakkan otot-ototku, tetapi sepertinya ini sia-sia. Entah mengapa tidak satu centi pun dari tubuhku bisa beranjak dari posisi rebahku saat ini.

Setelah mencoba sekian menit, aku akhirnya pasrah. TIdak ada gunanya melawan. Toh sebentar lagi tim SAR dan ayahku akan menghampiriku. Dari sini saja aku sudah bisa melihat orang-orang tersebut berjalan dengan mantap ke arahku. Melihat ayahku dalam keadaan seperti sekarang ini sudah sangat melegakan bagiku.

Akhirnya aku terselamatkan..

Selang beberapa menit kemudian mereka sudah mengerumuniku.

Ayahku berjongkok di hadapanku. Tangan hangatnya menyentuh pergelangan tangan dan keningku. Terasa damai dan syahdu sekali di batinku. Aku tak mampu berkata-kata apapun. Rasanya ingin menangis. Tangisan lega dan bahagia.

Sejenak kemudian kulihat dia tersenyum lalu berkata ke salah satu anggota tim SAR.

“Saya akan menghubungi istri saya untuk mengabarkan bahwa jenasah anak kami akhirnya telah ditemukan.”


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...