Jembatan bambu tipis. Dengan ngarai sungai nasib yang mengalir dengan deru ejekan yang memekakkan telinga sekaligus menghabisi kesabaran kami.
Begitulah aku menyebut tempat ku berpijak saat ini.
Bukan, bukan dalam arti harafiah atau dalam makna yang bersifat denotatif.
Jembatan ini adalah keadaan dimana aku berada sekarang.
Apabila kamu lebih muda dariku, silakan kamu tertawa.
Karena kamu belum merasakan apa yang kami, para hampir-pria-dewasa, alami dan rasakan di dalam keadaan ini.
Kami, atau setidaknya Aku, punya visi bagaimana dan dimana aku akan berada dalam lima, sepuluh, atau bahkan puluhan tahun mendatang. Itu adalah pandangan yang terlihat dengan menggunakan binokular yang tergatung di otak, tekad, dan anganku. Ya, pandangan yang aku lihat akan aku titi di penghujung jembatan ini.
Kamu tidak mengerti kan?
Ah ya, tunggu saja giliranmu. Tapi satu hal, jangan menyalib kecuali kamu memang lebih baik dariku. Karena aku tak suka disalib.
Apabila kamu lebih tua dariku, baiklah, silakan kamu juga tertawa.
Kamu mungkin punya pengalaman lebih banyak dariku. Kamu mungkin sudah ada di seberang lembah, sudah mendapatkan lorong jalan setapaknya masing-masing, atau mungkin sedang duduk dengan santainya sambil memandangi kami para hampir-pria-dewasa meniti jembatan ini dengan kepayahan.
Ya, kamu memang pantas mendapatkannya, aku menghargai itu dan aku tidak keberatan sama sekali dengan itu.
Toh kita akan sama-sama berkejar-kejaran setelah aku melewati fase ini dan kita berada di jalan setapak yang sama. Ya, mari kita bersaing secara sehat.
Tapi satu hal, mungkin selama aku di atas jembatan ini aku akan sering berteriak memanggil nama kalian hanya untuk meminta saran terbaik bagaimana aku menyebrangi sungai nasib ini.
Sungai nasib.
Ah betul sekali.
Aku tak ingin terpeleset atau bahkan sengaja menjatuhkan diri dan hanya meninggalkan jejak tak bermakna di atas jembatan yang kutinggalkan.
Aku tak ingin terjatuh ke dalam sungai nasib dan membiarkan diriku terbawa arus deras sungai ini hanya karena hal-hal lain yang sifatnya material.
Tak bisa kupungkiri bahwa materi adalah kebutuhan manusia. Tetapi setidaknya aku masih menjunjung idealisme yang aku tanamkan selama tiga setengah tahun pembekalan ku sebelum keberangkatan ini.
Toh idealisme ini bukannya tak bermateri.
Ini masa yang berat. Mungkin bagi sebagian orang, sungai nasib adalah jembatan bambu nya. Itu hak mereka, aku menghargainya.
Sama seperti mereka, aku harus segera sampai di seberang lembah dan berkejaran dengan kalian para manusia yag terlahir lebih tua.
Begitulah aku menyebut tempat ku berpijak saat ini.
Bukan, bukan dalam arti harafiah atau dalam makna yang bersifat denotatif.
Jembatan ini adalah keadaan dimana aku berada sekarang.
Apabila kamu lebih muda dariku, silakan kamu tertawa.
Karena kamu belum merasakan apa yang kami, para hampir-pria-dewasa, alami dan rasakan di dalam keadaan ini.
Kami, atau setidaknya Aku, punya visi bagaimana dan dimana aku akan berada dalam lima, sepuluh, atau bahkan puluhan tahun mendatang. Itu adalah pandangan yang terlihat dengan menggunakan binokular yang tergatung di otak, tekad, dan anganku. Ya, pandangan yang aku lihat akan aku titi di penghujung jembatan ini.
Kamu tidak mengerti kan?
Ah ya, tunggu saja giliranmu. Tapi satu hal, jangan menyalib kecuali kamu memang lebih baik dariku. Karena aku tak suka disalib.
Apabila kamu lebih tua dariku, baiklah, silakan kamu juga tertawa.
Kamu mungkin punya pengalaman lebih banyak dariku. Kamu mungkin sudah ada di seberang lembah, sudah mendapatkan lorong jalan setapaknya masing-masing, atau mungkin sedang duduk dengan santainya sambil memandangi kami para hampir-pria-dewasa meniti jembatan ini dengan kepayahan.
Ya, kamu memang pantas mendapatkannya, aku menghargai itu dan aku tidak keberatan sama sekali dengan itu.
Toh kita akan sama-sama berkejar-kejaran setelah aku melewati fase ini dan kita berada di jalan setapak yang sama. Ya, mari kita bersaing secara sehat.
Tapi satu hal, mungkin selama aku di atas jembatan ini aku akan sering berteriak memanggil nama kalian hanya untuk meminta saran terbaik bagaimana aku menyebrangi sungai nasib ini.
Sungai nasib.
Ah betul sekali.
Aku tak ingin terpeleset atau bahkan sengaja menjatuhkan diri dan hanya meninggalkan jejak tak bermakna di atas jembatan yang kutinggalkan.
Aku tak ingin terjatuh ke dalam sungai nasib dan membiarkan diriku terbawa arus deras sungai ini hanya karena hal-hal lain yang sifatnya material.
Tak bisa kupungkiri bahwa materi adalah kebutuhan manusia. Tetapi setidaknya aku masih menjunjung idealisme yang aku tanamkan selama tiga setengah tahun pembekalan ku sebelum keberangkatan ini.
Toh idealisme ini bukannya tak bermateri.
Ini masa yang berat. Mungkin bagi sebagian orang, sungai nasib adalah jembatan bambu nya. Itu hak mereka, aku menghargainya.
Sama seperti mereka, aku harus segera sampai di seberang lembah dan berkejaran dengan kalian para manusia yag terlahir lebih tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar