Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk


Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adalah artikel sampah yang salah kaprah. Mungkin kebanyakan orang tidak akan mau meluangkan 5 menit waktu nya untuk repot-repot membaca ini.

Tapi hei, Apa salahnya membaca satu artikel nyeleneh yang, mungkin saja, bisa menambah satu perspektif baru tentang bagaimana kita memahami kondisi yang ada saat ini? Kita semua sudah paham bahwa pandemi Covid-19 sangat berbahaya bagi manusia dan kemanusiaan, baik secara fisik maupun non-fisik. Kita juga mengerti bahwa virus Covid-19 belum ada obat nya dan belum ada vaksin nya. Beberapa dari kita juga tahu bahwa (sampai dengan artikel ini ditulis) tingkat penularan Covid-19 di Indonesia masih menyentuh level R0 = ±2.5, yang artinya 1 orang positif Covid-19 berpotensi menularkan ke 2-3 orang lainnya.

Lalu orang bodoh mana yang mau mendukung ide pemerintah untuk melonggarkan PSBB secara terstruktur?

Well, saya yakin permasalahannya bukan pada “orang bodoh mana”, tapi lebih kepada “orang kepepet mana” yang mau mendukung ini.

Ya, pemerintah tentu sekarang dalam posisi terjepit. Angan dan rencana mereka untuk segera menjadikan Indonesia makin mantap take-off menuju negara ekonomi maju jadi memudar karena ulah makhluk tak kasat mata ini. Alih-alih menggunakan sumber daya nya untuk sesuatu yang konstruktif, mereka justru harus mundur beberapa langkah, lalu mengatur strategi kembali dan mengalihkan sumber daya yang ada untuk mempercepat pemulihan pandemi dan menguatkan jaring-jaring pengaman sosial. Sungguh langkah mundur yang cukup jauh.

Lalu ada juga masyarakat nya. Ya, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pasti merasakan dampak pandemi ini. Kebanyakan dari mereka bagaikan berdiri di antara dua pilihan: mati sakit atau mati lapar. Tentu bagi mereka mati lapar bukan pilihan yang ideal. Pola pikir nya kira-kira seperti ini: “Untuk apa kita memilih mati kelaparan kalau badan masih sehat?” Atau bisa juga begini: “Kalau berdiam diri di rumah selama 24 jam maka kita pasti lapar. Tapi kalau kita pergi keluar sebentar untuk menyambung hidup, belum tentu kita akan sakit. Lalu buat apa kita memilih mati lapar?”.

Pola pikir dan pandangan-pandangan seperti itu bukanlah hal yang perlu dinilai dengan miring. Pandangan mereka, entah bagaimana, terasa valid dan humanis sekali. Memang siapa kita untuk berhak menilai buruk orang-orang itu dan menolak pandangan nya? Terlebih bagi kita yang masih dapat duduk dan tetap bekerja dengan nyaman di rumah masing-masing tanpa perlu khawatir tidak mendapatkan penghasilan. Paling-paling dampak yang dirasakan hanya pemotongan gaji atau pengurangan THR. But, you’re still make a living, right?

Oleh karena itu, saya mencoba mengupas sedikit beberapa alasan yang cukup masuk akal untuk menganggap bahwa ide penerapan new normal policy di tengah pandemi Covid-19 oleh pemerintah ini sebetulnya bukanlah ide yang patut dicemooh dan ditolak mentah-mentah. Karena tidak ada salah nya untuk mencoba melihat suatu gagasan dari sisi yang lebih netral. Karena siapa tau, ide ini sesungguhnya brilian.

1. Penerapan PSBB Tidak Efektif


Di atas adalah grafik dan data perkembangan Covid-19 di Indonesia, sampai dengan tanggal artikel ini di tulis. Mencemaskan bukan? Berikutnya kita perlu melihat grafik ini. Ini diunduh dari community mobility report yang diolah oleh Google untuk regional Indonesia:






Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa intensi orang untuk pergi bekerja dan pergi ke tempat grosir (sebut saja pasar, grosiran, farmasi, dsb) tidak dapat dibendung sepenuhnya oleh penerapan PSBB. Kita ambil contoh grafik pertama, terlihat bahwa memang betul tren secara umum mobilitas masyarakat Indonesia untuk pergi ke tempat grosir turun sebesar 17%. Tapi yang mencengangkan adalah, grafik tersebut tidak sepenuhnya stabil dan masih fluktuatif. Terlebih ketika memasuki masa-masa payday di sekitar tanggal 20-an April dan mendekati masa-masa hari raya lebaran di 20-an Mei.

Selepas dari masa-masa itu, ternyata tidak sepenuhnya juga masyarakat bisa lebih banyak berdiam diri di rumah. Kita bisa melihat dari grafik kedua, bahwa sebelum mereka dapat memiliki waktu luang untuk berkunjung ke tempat grosir, kecenderungannya mereka akan tetap keluar untuk bekerja ke kantor. Walaupun tentu saja dengan tingkat mobilitas yang lebih rendah dari kondisi normal.

Penyebab mereka tetap harus pergi ke kantor tentu saja karena kewajiban dari kantor masing-masing. Alasan nya tentu karena adanya urusan niaga/bisnis yang tidak dapat dikesampingkan. Memang kita paham bahwa ada 11 sektor yang diatur pemerintah untuk dikecualikan “berhenti beroperasi”, atau setidaknya wajib menyesuaikan cara kerjanya selama PSBB berlangsung. Tetapi bukannya pemerintah yang sama juga (baca: Kemenperin) yang menerbitkan surat edaran yang mengizinkan banyak pabrik dan industri tetap beroperasi? Ada kealpaan konsistensi yang membingungkan disini.

Kondisi di atas sesungguhnya kurang lebih sama seperti dalam kondisi normal. Kita bekerja, lalu kalau sudah hari libur atau mendekati hari raya maka kita pergi berbelanja.

Ada satu fakta yang unik terkait dengan fakta ramainya tempat grosir selama beberapa waktu tertentu di masa PSBB ini. Bahwa pemicu kecenderungan keramaian di tempat tempat grosir saat mendekati hari raya justru bukan dari penjual nya, yang notabene memang mencari nafkah disana (dan mereka memang butuh untuk menyambung hidup), tetapi justru karena ramai nya pembeli yang datang. Motif ekonomi berlaku solid disini. Bukan hanya penjual nya yang lebih takut mati lapar daripada mati sakit, tetapi pembeli nya pun lebih takut tidak bisa merayakan hari raya seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada beberapa artikel di media masa yang bisa dirujuk mengenai fakta unik ini:



Menarik benang merah dari uraian di atas, penerapan PSBB ini sesungguhnya tidak terlalu berdampak efektik, ditilik dari jumlah kasus yang kecenderungannya terus naik, maupun dari intensi masyarakat dan pemerintah yang nampak setengah hati untuk menerapkan PSBB ini.

Buat apa pemerintah dan masyarakat repot-repot meneruskan PSBB kalau pada akhirnya toh lebih banyak dilanggar juga? Buat apa PSBB terus dijalankan kalau regulasi dan penegakannya tidak kuat dan tidak konsisten. Toh peningkatan jumlah kasus masih terus terjadi, sedikit banyak karena alasan-alasan di atas, kan?

2. Peningkatan Kemiskinan > Efek Covid-19

Mengutip dari beberapa artikel dan riset, akan terjadi peningkatan tingkat kemiskinan di Indonesia akibat pandemi Covid-19, sejalan dengan potensi penurunan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020. Dan ini wajar.

Saya tidak akan membahas mengenai berapa potensi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi karena itu sudah pasti akan terjadi. Namun yang saya akan bawa disini adalah seberapa besar pandemi ini berdampak kepada tingkat kemiskinan di Indonesia. Di bawah ini adalah grafik proyeksi peningkatan jumlah kemiskinan dalam beberapa skenario tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.



Bisa dilihat bahwa dalam skenario terburuk dimana tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 hanya mencapai 1%, maka terjadi peningkatan warga miskin sebesar kira-kira 8.5 juta orang. Ini berarti akan ada tambahan 8.5 juta orang lapar di negeri ini, dan orang-orang ini harus dijamin oleh pemerintah, setidaknya untuk pemenuhan kebutuhan pokok.

Pada kuartal 1 2020 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menyentuh angka 2.97%. Hal ini disebabkan karena memburuknya tingkat konsumsi di Indonesia selama periode tersebut yang hanya menyentuh kisaran 2.84%, jauh di bawah kondisi normal yang bisa menyentuh kisaran 5%. Padahal kontribusi konsumsi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencakup hampir 57%, lebih dari setengahnya.

Kuartal 2 2020 tentu saja akan lebih terpuruk. Kita tahu bahwa penerapan PSBB sudah mulai dijalankan sejak April dan direncanakan akan terus berlangsung hingga awal Juni.

Lalu bagaimana dengan kuartal 3 dan seterusnya? Pemerintah tentu tidak ingin terlalu tenggelam dalam keterpurukan ekonomi. Apabila dilanjutkan, PSBB ini akan memberikan bencana ekonomi bagi negara. Ada bayang-bayang kekhawatiran resesi yang menghantui, dan yang sudah pasti terjadi akan butuh waktu yang lebih lama bagi pemerintah untuk melakukan recovery manakala kondisi nanti sudah membaik, dan tentu saja peningkatan kemiskinan.

Peningkatan kemiskinan disini adalah hal yang perlu ditekan seminim mungkin. Penambahan 8.5 juta orang lapar bukanlah berita yang menggembirakan bagi pemerintahan manapun. Selain potensi kriminalitas yang meningkat dan potensi bentrok sosial, namun jangka panjang nya bisa lebih buruk: menurunnya kualitas sumber daya manusia karena kurang tercukupinya kebutuhan dasar karena kemiskinan. Ingat bahwa Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi di tahun 2030. Tanpa kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, maka bonus demografi menjadi mubazir, dan angan-angan menjadikan Indonesia menjadi negara maju bisa jadi harus ditunda jauh. Untuk apa kita punya kuantitas tanpa kualitas?

Di sisi lain, ada hal yang nampak nya juga menjadi pertimbangan yang logis untuk melonggarkan PSBB dan menerapkan new normal. Satu hal ini mungkin adalah gagasan yang tidak populer dan akan banyak dihujat, tetapi sayangnya cukup logis. Setidaknya dari data yang ada.

Seperti yang sudah saya uraikan di atas, dalam skenario terburuk maka akan terjadi penambahan 8.5 juta orang miskin atau orang lapar di negeri ini. Ini bukanlah angka yang kecil dan layak diabaikan. Begitu juga dengan angka korban Covid-19 yang datanya sudah saya jabarkan di poin 1 di atas. Itu juga bukan jumlah angka korban yang patut diabaikan.

Akan tetapi, dilihat dari perbandingan angkanya, maka akan dengan sangat mudah terlihat bahwa kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia sejauh ini jauh lebih kecil dari potensi penambahan jumlah orang lapar yang ada.

Ada sekitar 26,000 kasus terkonfirmasi, yang mana tingkat kematiannya sebesar sekitar 1,600 atau sekitar 6% dari total kasus yang ada. Ini adalah angka yang relatif kecil untuk menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi 8.5 juta tambahan orang lapar yang bisa berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya. Juga angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi opportunity untuk memanfaatkan bonus demografi dan menjadi negara maju yang hilang dalam satu dekade ke depan. Dari statistik yang ada, saya rasa sangat logis bagi pemerintah untuk mencanangkan pelonggaran PSBB dan mengaplikasikan gaya hidup new normal.

Mengenai ini, pasti akan ada pertanyaan tipikal yang muncul: “Apakah harus secepat ini memberlakukan new normal?”, atau “Apakah pemerintah sudah menyiapkan sarana yang baik, terutama sarana kesehatan, transportasi umum dan lain sebagainya untuk menunjang gaya hidup new normal dan menjamin keamanan masyarakat secara umum?”. Itu pertanyaan yang sangat wajar. Namun hal itu akan saya bahas di tulisan saya yang lain agar topik tulisan ini bisa lebih fokus.

3. Banyak Alternatif Cara Kerja

Sebetulnya kalau mau berpikir kreatif, ada beberapa cara alternatif kerja yang lain dari biasanya dan mungkin dilakukan, utamanya apabila nanti gaya hidup new normal diberlakukan. Alternatif cara kerja ini di luar gagasan biasa yang sudah ada di antaranya seperti penerapan protokol kesehatan yang ketat selama bekerja, penerapan pembagian shift kerja untuk mengurangi kepadatan jumlah karyawan dalam satu lingkungan kerja dalam satu waktu, minimalisir physical meeting dengan memaksimalkan aplikasi untuk melakukan komunikasi virtual, dan banyak lagi.

Berikut adalah dua alternatif unik yang terpikirkan:

a.      4 workdays out of 14 days
Persis kemarin saya baru saja menonton sebuah video dari TED mengenai ini. Seorang biologist bernama Uri Alon. Dia mengusulkan sebuah skema kerja yang secara fisik harus datang ke kantor dilakukan selama 4 hari berturut-turut, lalu dilanjutkan bekerja dari rumah untuk 6 hari kerja berikutnya. Tentu saja 4 hari sisanya adalah akhir pekan yang mana diharapkan tidak ada yang melakukan pekerjaan di hari tersebut.

Gagasan ini dengan mempertimbangkan pola perkembangan virus Covid-19 di dalam tubuh seorang penderita, dari mulai tertular hingga gejala penyakit mulai muncul dan orang tersebut berpotensi menularkan kepada orang lain, yang mana secara rata-rata butuh waktu sekitar 14 hari.

Mungkin selintas gagasan ini tidak cukup baik karena produktivitas pekerja akan tetap rendah. Dan ini juga kurang bisa diaplikasikan untuk industri manufaktur yang mana memang bersifat padat karya dan membutuhkan komitmen kehadiran fisik selama shift produksi berjalan. Namun bukan berarti gagasan ini dapat diabaikan. Ini bisa menjadi pilihan cara kerja yang fresh manakala penerapan new normal nanti berlaku.

b.     Memberlakukan shift malam


Serius, ini bukan ide gila. Saya berpikir untuk menjaga level produktivitas tidak sepenuhnya terjun bebas, tidak ada salahnya bagi para kantor untuk menerapkan shift jam kerja malam. Bukan berarti disini saya mengusulkan perpanjangan jam kerja, tapi jumlah staff dalam satu shift tidak dikurangi. Tetapi ini dijalankan dengan membagi karyawan dalam shift lainnya yaitu shift malam dalam rangka untuk meminimalisir jumlah karyawan dalam satu lingkungan kerja dalam satu waktu, tetapi tetap mengoptimalkan satu hari sumber daya waktu yang ada.

Di sisi lain, traffic dan kemacetan juga bisa diminimalisir karena penumpukan pengguna kendaraan pribadi dan umum untuk pergi ke kantor dalam jam-jam sibuk dapat ditekan, sehingga risiko penularan juga dapat ditekan.

Saya melihat ide ini dapat dilakukan dan dijalankan dengan baik apabila semua industri banyak yang kompak untuk melakukan ini.

Sebagai penutup, poin-poin dan penjabaran di atas adalah gagasan dan uneg-uneg saya mengenai beberapa alasan yang cukup masuk akal untuk menganggap bahwa ide penerapan new normal policy di tengah pandemi Covid-19 oleh pemerintah ini sebetulnya bukanlah ide yang patut dicemooh dan ditolak mentah-mentah. Dengan mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti yang ada di paragraf terakhir poin 2 di atas, saya pikir ide pemerintah untuk menerapkan new normal ini cukup brilian dan perlu.

Catatan: Penulis bukan buzzer pemerintah. Penulis adalah seorang profesional muda yang kebetulan suka beruneg-uneg dan juga berkelakar.

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide Yang (Terlalu) Buruk

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adal...